127

“Seharusnya anak kalian bisa selamat.”

Buyar konsentrasi saya saat membaca pesan Bulik Ratih dan mendengar penjelasan Erna tentang kelakuan tak masuk akal Mentari. Begini, saya paham kalau dari awal kondisi Mentari memang tidak baik. Saya aware sekali, tapi yang jadi pertanyaan, bagaimana Mentari bisa membelah nanas hanya dengan tangan? Hal itu tidak mungkin, kan? Bahkan saya yang seorang laki-laki juga tak akan kuat bila harus membelah nanas dengan tangan kosong. Pernyataan itu membuat saya hanya bisa tertawa miris dan berpikir, ini yang gila saya apa Mentari?

Mengapa setiap kali saya dan dia sedang baik-baik saja, tingkahnya menjadi diluar nalar? Apa ia sedang menguji saya dengan kelakuan aneh serta fase maniknya sebagai seorang penderita DID?

Saya benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Apalagi, ia tidak aware jika dirinya sedang hamil. Bagaimana bisa? Dia perempuan, yang lebih tahu soal kondisi tubuhnya, jelas dia. Tapi hal semacam ini saja, Mentari bahkan tidak paham. Apa yang ada dalam pikirannya?

Belum lagi sepanjang kambuh, Mentari terus mengulang ucapan yang sama. “you'll never have a child from this woman.” Bagaimana bisa ada perempuan sekeji itu? Saya sungguh kehabisan sabar saking seringnya Mentari kambuh disaat-saat yang tidak tepat.

Saya memandang Mentari yang akhirnya terlelap usai diberi obat penenang. Dokter bilang, Mentari sangat depresi ketika tahu bahwa ia harus dikuretasi. Mendadak, Mentari tak merespon apapun yang Dokter katakan padanya. Setelah itu ia tak sadarkan diri karena kondisinya melemah.

Aidan yang menjadi satu-satunya kunci dalam kejadian ini sampai tak berani bertatap muka dengan Mentari. Untuk pertama kali, Aidan menekankan bahwa ia tak mau melihat wajah Mentari untuk sementara. Ini sangat-sangat aneh menurut saya. Aidan sangat menyayangi Mentari, apapun yang terjadi anak itu akan berada di sisinya. Tetapi tidak untuk hari ini. Ia terus bersembunyi di balik lengan Erna, mengawasi Mentari dari kejauhan.

“Dan,” panggil saya. Saya duduk di sebelah Aidan. Namun Aidan justru tak berkata apapun—ia diam seribu bahasa dengan raut ketakutan.

“Ada apa...” tanya saya hati-hati. Aidan menggeleng lemah, lalu menundukkan kepala.

“Cerita sama Papi, Dan. Kenapa Idan gak mau lihat Mamah?”

Ia melirik ke arah lain. “Dan?” Tak lama, Aidan memeluk saya erat.

“Mamah makan darah....” ia berbisik dengan sangat-sangat pelan.

“Dan, kamu jangan bercanda ya.”

“Tapi Idan gak bohong, Pi...Idan, Idan liat... Idan liat Mamah makan kepala....” tangisnya pun pecah setelah itu. Alis saya mengerut semakin dalam, otak saya bekerja keras untuk menyusun cerita tak masuk akal ini, mencoba menerimanya dengan nalar.

“Idan, yang jujur sama Pap—”

“Aidan.” Cerita Aidan terhenti, omongan saya terpotong. Bulik Ratih berjalan ke arah kami, lalu dengan gerakan cepat, ia mengusap mata Aidan hingga matanya terpejam.

“Dan.” Bulik Ratih menepuk pundak Aidan dan seketika itu juga saya perhatikan Aidan tampak seperti orang linglung.

“Udah enakan, Dan?” tanya Bulik Ratih kemudian. “Udah, Eyang.” Aidan menjawab spontan. Bulik Ratih mengangguk, “mau nyamperin Mamah?”

Saya yang mendengar pertanyaan Bulik Ratih jelas heran dan bingung. Sebab Aidan langsung berbeda dari yang sebelumnya. “Dan, kamu belum jelasin ke Papi apa yang terj—”

“Dia sudah lupa dengan kejadian tadi.” Bulik Ratih menatap saya serius. Saya membeku, perlu beberapa menit bagi saya untuk mencerna maksud perkataan Bulik Ratih. Jadi maksudnya, Aidan tidak mengada-ada?

“Peristiwa tadi sangat traumatis buat Aidan, Jordy. Kalau tidak cepat ditangani, Aidan bisa sakit-sakitan.”

Saya diam sejenak, memandang Bulik Ratih dengan perasaan tak menentu. “Sakit-sakitan?”

“Jordy, saya tahu mungkin kenyataan ini nggak akan masuk dalam nalar kamu. Semua yang Mentari alami dan apa yang Idan saksikan...” Bulik Ratih menjeda ucapannya.

”...terjadi karena ada yang mengganggu rumah tangga kalian. Mendiang istri kamu dendam sama Mentari, Jor.”

Lagi-lagi anggapan seperti itu hanya menjadi angin lalu buat saya. Orang yang sudah meninggal tidak mungkin bisa mengusik manusia. Tubuhnya saja sudah menjadi tulang belulang.

“Kamu...nggak percaya?” Bulik Ratih menebak.

”...Jordy, saya cukup ngingetin kamu sekali ini aja. Kamu harus ingat baik-baik istrimu di dalam lagi berjuang untuk kembali ke dunianya. Dan Aidan...saya menghapus ingatannya tentang peristiwa mengerikan yang tadi dia liat. Terserah kamu. Saya hanya minta untuk tidak menyakiti Mentari lebih jauh dari ini.”

Saya mencelos. Pernyataan Bulik Ratih yang terakhir sepertinya tamparan yang kesekian kali untuk saya. Raut wajah sayu nan seriusnya, membuat saya merenungkan sikap-sikap saya pada Mentari. Saya meraup kasar wajah saya sendiri, memaksa diri untuk ikut masuk ke kamar perawatan Mentari.