13

Helaan nafas frustasi berembus bagai angin malam dari Jordy kala ia membuka pintu. Ia duduk di dekatku sembari mengusap wajahnya yang menyembunyikan sejuta luka.

Tak banyak kata terdengar dari mulutnya. Jordy hanya memusatkan tatapannya pada perutku.

“Aku harus gimana, Mas?” Dengan suara parau aku membuka obrolan.

Dia mendekat, menggenggam erat tanganku usai melepas kacamatanya. “I'm so so sorry for all I've done to you.”

“Aku gak butuh maaf dari kamu, Mas. Aku cuma minta solusi gimana kita hadapin ini semua. Aku udah bilang, aku belum siap untuk jadi ibu lagi.”

“Then what are you gonna do to this baby? Hurt him?”

Aku diam. Pikiranku mulai tertuju pada saat pertama kali aku mengandung. Kuretasi adalah hal yang paling kubenci. Selain menyakiti anakku, ia juga meninggalkan trauma yang begitu besar buatku.

Aku tak mau lagi merasakannya, aku tidak ingin ada sesuatu yang merusak tubuhku. Cukup.

“Hmm?”

Jordy kembali mengangkat tatapannya padaku seraya melonggarkan genggamannya.

“Aku sayang sama anak kita, Mas...”

“I know. Aku juga, Ri. The thing is I neglected you when you needed me the most. I was so sorry about that.”

”...Mungkin kita ga bisa ngulang lagi waktu-waktu sebelumnya. Aku gak mau kehilangan momen lagi kayak dulu. Just let me know if you need something,” katanya dengan suara gemetar. Setelah itu Jordy memelukku erat. “Don't leave me, Ri.”

Aku baru sanggup menatap matanya usai perasaanku sedikit lebih baik. “Aku gak ninggalin kamu...”

Brukkk!