13
“Ibu mengalami depresi yang cukup parah, Pak Jordy. Perutnya keram karena stres berat.”
Pernyataan dari dokter spesialis kandungan kami amat menyentak saya siang itu.
“Tapi apa anak kami baik-baik saja, Dok?” Saya memastikan.
“Alhamdulillah, iya. Usianya masih sangat muda, sekitar semingguan. Jadi saya harap, Ibu benar-benar harus bed rest supaya kandungannya sehat,” ujar dokter itu lagi. Saya mengangguk, kemudian menggenggam lembut tangan Mentari.
”...Saya resepkan vitamin untuk Ibu ya, Pak. Nanti saya ke sini lagi untuk konsultasi di bulan berikutnya,” ujar dokter tersebut sebelum ia melangkah ke pintu keluar.
“Baik, Dok. Kalau Riri udah sadar, saya kabarin.”
“Oh boleh. Nanti perawat kita juga akan ngecek kondisi Ibu.”
“Baik, terima kasih banyak, Dok.”
Selepas dokter itu meninggalkan ruang rawat, saya termenung di sebelah Mentari sambil memandangi wajahnya yang pucat, kantung matanya yang gelap; juga pipinya yang terlihat lebih tirus.
She's literally exhausted. Dan saya sebagai suami lagi-lagi reckless dengan membiarkannya berjuang sendirian.
“Maafin aku, Ri,” bisik saya dengan suara yang amat pelan. Penyesalan mulai merambati benak saya saat Mentari di bawah alam sadarnya menitihkan air mata.
Saya bukan tak pernah tahu kalau dia sering menderita sejak pertama kami menikah, namun kali ini kondisinya jauh berbeda.
Dia butuh saya dan saya jarang ada buat dia—itu yang sejak tadi terus membuat saya dirundung sesal. Saya juga tak ingin ini terjadi, tetapi kecerobohan saya malam itu malah menjadi malapetaka untuknya.
—
“Mas, Kiori sama Idan udah makan belum? Aku lupa pumping lagi tadi. ASI-ku lagi seret kemaren.”
Saya langsung terbangun ketika Mentari melontarkan pertanyaan itu. Ia mungkin terlihat lelah, namun tanggung jawabnya sebagai ibu dari anak-anak saya tak pernah ia lupakan, bahkan ketika kondisinya sedang lemah sekalipun.
“Kiori udah makan tadi, Ma. Idan juga, stok ASI kamu masih ada di kulkas. Istirahat dulu ya, jangan mikirin yang lain. Inget, kamu juga lagi hamil, Ri.”
Tatapan Mentari berubah kosong, air mukanya sendu. Ia bergeming sesaat tanpa mengucap satu katapun.
“Mas...” “I know, I'm so sorry,” ujar saya penuh sesal. Ia membalas ucapan saya dengan menggenggam tangan saya pelan. “I love this kid tapi kenapa aku ngerasa sedih terus, Mas? Aku nggak suka ada perasaan gini.”
Saya berpindah, ikut duduk di sebelah Mentari yang tengah berjuang menahan air matanya.
“Dokter bilang kamu stres, Ma. Kamu harus istirahat yang cukup.”
“Aku? Stres?” Tawanya menyugar. Saya tahu dia sedang menyangkal kuat perasaannya.
“You are.” “Nggak, Mas. Aku baik-baik aja kok, aku marah sama kamu kemaren karena bawaan bayi aja. I'm all good.”
Sayangnya sudut mata Mentari tak bisa berbohong. Saya melihat jelas jika ia menitihkan air mata.
“Ri, it's okay. Yang salah aku. Kalo aja malem itu aku ga lepas, mungkin kamu ga perlu ada di sini—”
“Nggak, Mas. Kamu nggak salah. Aku yang seharusnya gak marah sama kamu kemaren, aku ini istri kamu, aku harus nurut sama kamu.”
“Ri... please jangan denial lagi.” “Denial apa, Mas? Dokter itu bukan Terry, pskiaterku. Dia cuma dokter kandungan aja.”
“Tenang dulu, Ma. Minum obat dulu ya? Ini vitamin, biar kamu sama adek sehat,” bujuk saya lembut. Mentari menatap butiran pill yang berada di tangan saya. Awalnya dia mengambilnya, tapi kemudian ia meletakkannya lagi.
“Babe... diminum dong...” Mentari menghela nafas dengan bulir air mata yang sedikit demi sedikit membasahi pipinya.
“Aku belum bisa jadi ibu yang baik buat anak-anak, Mas... Aku gak bisa ngebahagiain kamu. Aku ngerasa payah karena aku takut Idan dan Kiori ga kebagian kasih sayang kalau adiknya nanti lahir... Tapi aku juga sayang sama anak ini. Aku harus gimana, Mas...”
Tanpa banyak bicara, satu-satunya yang bisa saya lakukan hanyalah merengkuh Mentari dalam dekapan. Dia frustasi, bahkan lebih parah daripada kehamilan pertamanya.
“You're enough, Ri. You worked too hard for the kids. Idan dan Kiori bangga punya Mamah kayak kamu. Jangan berpikiran gitu, kalo ibunya sedih nanti Idan Kio kepikiran, adek di dalem juga ikutan sedih.”
“Kiori emang bisa pisah dari aku? Aku takut kalo dia ga bisa nerima adiknya... Aku juga gak bisa ngurus dia sendirian, Mas.”
“I'll be there. Aku janji, kan aku udah bilang kemaren, nanti kalo adeknya anak-anak udah lahir, aku ikut dampingin. Ya?”
“Bener...?” Saya mengangguk usai mendaratkan satu kecupan di dahinya. “Jangan kayak kemaren lagi ya, Pi. Aku bener-bener butuh kamu.”
“Iya, Sayang.”
—