130

Wajahku memanas kala mendapati Jordy masuk ke kamar perawatan dengan air muka dinginnya. Ia masih mengenakan pakaian kerja lengkap dengan jas yang sehari-hari ia kenakan bila harus menghadiri meeting dengan beberapa produser atau CEO rumah produksi besar. Alih-alih menghampiriku, Jordy berjalan menuju kursi di sebelah kasur dan menenggak segelas air putih. Dia sama sekali tidak melirikku dan hanya fokus pada ponselnya.

Kami sama-sama diam. Cuma suara dehaman Jordy yang mengudara beberapa kali. Aku yang sedang hancur-hancurnya, tak tahu lagi harus bicara apa pada Jordy yang cuma tau marah besar dan menuduhku tidak becus menjadi seorang istri. Aku lantas membalik tubuhku perlahan-lahan, karena luka akibat pasca kuretasiku masih basah.

Tapi ada yang jauh lebih sakit daripada luka ini, yaitu sikap Jordy yang tak acuh pada kejadian yang menimpaku.

Dia bilang di suratnya waktu itu bahwa aku sangat berharga baginya. Bahwa aku sama pentingnya dengan Aidan, tapi kurasa Jordy tengah mabuk saat menulis surat tersebut. Dia bohong, dia hanya ingin menenangkanku, atau yang paling mungkin—itu adalah upayanya agar aku si kacung ini tetap menjaga dan membesarkan Aidan.

Tangisku pecah, namun kuusahakan agar Jordy tidak mendengarnya. Aku terlampau kecewa dan sakit hati hingga tak mau lagi melihat wajahnya.

Kudengar sepatunya bergeser, pergerakannya melambat dan berhenti tepat di belakangku. Waktu bagai terhenti saat itu. Entah apa yang Jordy hendak lakukan padaku, lagi-lagi—aku enggan bertatap muka dengannya.

“Saya harus pulang, ambil beberapa baju,” ujarnya dengan suara parau.

Aku tidak menjawab.

“Denger?”

Aku merapatkan mulutku.

“Ri.” Kali ini suaranya memelan. “Minum obatnya.” Ia berkata kemudian langkahnya terdengar sedang menuju ke daun pintu.

Tidak ada usapan, pelukan bahkan kecupan hangat yang mampir padaku. Jordy jelas-jelas hanya menjadikanku tameng baginya juga alatnya untuk mewujudkan cita-cita Aidan memiliki keluarga yang sempurna.