142

“Mamah...” Aidan menangis pilu di pelukku, tak henti-hentinya ia membenamkan kepalanya di dadaku. Astaga.. apa yang sudah kulakukan pada Aidan sampai ia sebegitu takutnya. Aku bahkan tak punya keberanian untuk mengusap dahinya. Tubuh Aidan gemetar hebat, pasti aku telah melakukan sesuatu yang membuat ia trauma.

“Dan, Mamah ada sakitin Idan? Tangan Idan luka, Nak?” Aku memberondongnya dengan sejumlah pertanyaan saking kalutnya, namun Aidan menggeleng kuat.

“Mamah sakit apa? Kenapa Mamah teriak-teriak dan bilang Papi jahat?” tanya Aidan balik. Aku terdiam, memoriku tentang bagaimana ia dan ibu Aidan sedang melakukan adegan ranjang sontak membuatku enggan menjawab pertanyaan Aidan. Satu-satunya yang paling kuingat adalah hal itu serta tatapan Jordy yang seolah meremehkanku dan asyik bercumbu dengan Kirana.

“Mamah mimpi buruk aja, gak usah dipikirin ya, Nak?” Aku menghindar. Sementara ayahnya memandangku khawatir.

“Ri.” Aku balas menatapnya, tapi entah mengapa adegan bercumbu Jordy dan Kirana kembali menguasai pikiranku. Dan hal itu menumbuhkan benci terhadapnya.

“Dan, mau makan apa? Idan belum makan dari pagi?” Aku mengacuhkan panggilan Jordy. Ia berpindah ke sisi ranjang yang lain—lebih tepatnya—di samping kiriku, sebab Aidan duduk di sisi kanan.

“Ri, saya tadi manggil kamu—” “Dan, mau Mamah pesenin apa?”

“Mentari.” Nada bicara tak lagi selembut tadi. Aku meliriknya dingin.

“Saya lagi ngomong.” Tapi setelah ia berucap demikian, tatapannya terlihat kikuk. Menyadari bahwa kali ini aku menatapnya dingin, akhirnya Jordy menghindari pandanganku.

“Idan belum makan kan? Mau makan apa, Dan? Papi pesenin.”

Aidan hanya diam dan memandang kami satu per satu. Ia mengambil satu tarikan nafas dalam, “Idan makan apa aja, asal makannya ditemenin Mamah.”

“Iya, Mamah kan di sini, Dan.” “Maunya disuapin,” katanya dengan pipi menggembung.

“Mamah sakit, Idan.” Bapaknya angkat bicara. “Ya udah, Idan gak mau makan!” Ia merajuk. Jordy pasrah seraya menatapku. “Kamu? Mau mesen sekalian nggak?”

Aku tak menjawab. Perasaanku masih tak karuan. Hancur iya, kecewa juga. Masih membekas bagaimana Jordy berkata bahwa aku belum pantas menjadi istri. Aku tak bisa menjaga anakku. Lalu sekarang ia bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa?

Aku lelah. Aku enggan melihatnya untuk sementara waktu sampai aku bisa mengikhlaskan ucapannya.