15

“Kiori udah dong, Nak... Makan ya? Sedikit aja. Ya?”

Aku bahkan tak punya tenaga untuk membujuk Kiori dari lima belas menit lalu. Dia benar-benar menolak semua sendokan bubur yang kubuat. Yang Kiori lakukan cuma menangis dan menangis.

“Kio, please... Makan sedikit ya, Sayang?” Anak perempuanku mengatupkan mulutnya. Tangannya ia celup ke dalam mangkuk makanan.

“KIORI!” Habis sudah kesabaranku.

“Mamah udah bilang, makanan jangan dimainin!” Nadaku tanpa sadar meninggi, membuat Kiori yang barusan tenang langsung menangis kencang.

Air mataku pun ikut luruh kala melihat Kiori menangis karena kumarahi. Dengan segenap rasa bersalah, aku memeluknya erat.

“Maaf, Sayang. Mamah gak mau marah... Maaf ya...Udah cup... Cup...”

“Mamah...”

Aidan di sebelahku lengkap dengan seragam sekolahnya bahkan sampai menjauh. Biasanya si sulung itu akan langsung berlari memelukku serta bermain dengan adiknya. Tapi kali ini, anak itu bergeming dan memandangku ketakutan.

“Bang...” “Mamah, Idan ke dalem dulu ya,” katanya sambil menunduk.

“Dan, Mamah ngga gitu kok. Bang...”

Kudengar pintunya tertutup pelan. Hatiku hancur saat Aidan tak mau mendengarkan omonganku untuk yang pertama kali. Ia menjauh, dan itu bagai mimpi buruk dalam hidupku.

Aku menatap nanar foto USG yang belum diletakkan Jordy di kamar, dan seketika rasa marah dalam diriku menguar, tapi aku tahu aku marah bukan pada anakku melainkan diriku sendiri.

“Idan mana?” Pertanyaan Jordy sukses membuatku menelan ludah dalam-dalam. Dia terbiasa melihat Aidan menyapanya di ruang makan atau sekedar baca buku di ruang tamu. Namun absennya Aidan dari ruang makan membuatnya menatapku dalam tatapan pasrah.

“Mas, aku minta maaf.” “Kenapa?”

“Aku marahin Kiori.” Jordy berhenti menyendok makanannya. Rahangnya mengeras dan tampangnya berubah dingin.

“Kenapa?” balasnya datar. “Aku udah bilang kan tadi, dia nggak mau makan. Dia mainin makanannya.”

Jordy tak menyahut, dan dalam heningnya ia meletakkan sendok garpu di sisi piring yang masih penuh dengan makanan. Melihatnya tak menghabiskan makanan yang sudah kusiapkan dari pagi, aku mulai mempertanyakan kelayakanku sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya.

Apakah aku pantas menjadi ibu dari mereka? Bagaimana kalau anak ketiga kami lahir? Apa dia akan bersikap sama dengan sekarang?

Aku kalut mendadak. Kususul suamiku yang sudah lebih dulu menyambangi kamar Kiori.

“Dia mau makan kok, Ri. Kenapa harus kamu marahin? Buktinya sama aku dia mau,” ujar Jordy sembari menyuapkan sesendok makanan pada Kiori. Anak itu tersenyum, begitupun Aidan yang sedang bermain dengannya. Ia mengacuhkan kedatanganku, lagi-lagi untuk yang pertama kalinya.

Kakiku membeku.

Kuharap aku mampu belajar lebih giat untuk menjadi ibu yang baik bagi ketiga anakku.