150
“Mamah...” “Ya, Idan?” Aku buru-buru menyeka air mata yang tersisa di wajah saat Aidan masuk dan menyapa. Ia berlari ke arahku lalu memelukku erat.
“Kenapa, Sayang?” tanyaku seraya mengusap kepalanya.
“Mamah... Mamah tenang aja, adik udah tenang di surga. Nanti kita doain ya, Mah... titip doa ke Mami biar jagain adiknya Idan.”
Tangisku pecah seiring Aidan mengakhiri ucapannya. Aku mengeratkan pelukku pada Aidan, putraku satu-satunya. “Idan tau dari siapa? Maafin Mamah ya, Mamah gagal jagain amanah buat Idan..”
“Enggak, Mamah–”
“Ri, Dan, ayo—” ucapan Jordy terhenti. Ia melangkah mendekati aku dan Aidan, lalu merapatkan tubuhnya sedikit padaku. Kecupan kecil mendarat pada puncak kepalaku di bagian belakang. Wajah Jordy memerah... dan matanya sembab. Ia menangis?
Jordy tak banyak bicara, tapi raut mukanya begitu jelas memancarkan kepedihan yang sama denganku. Ia menghindari tatapanku, sama seperti yang kulakukan padanya beberapa hari ini Tangannya dipenuhi barang bawaanku dan tas Aidan, sangat kentara bahwa Jordy sedang menghindar dariku.
“Papi...” Aidan mengulurkan tangannya. “Nanti ya, Dan. Papi harus bawa barang ke mobil. Idan sama Mamah dulu ya.”
“Papi jangan nangis...” Jordy melirik Aidan sebentar dan hanya tersenyum tipis. Tinggallah aku yang kini dipenuhi rasa bersalah karena telah meragukannya.