151
Kalau sedang ribut begini, ada satu hal yang paling aku rindukan dari Jordy, yakni ia yang akan melarangku untuk pergi jauh darinya. Tapi kali ini...Jordy tidak melakukannya. Kami pulang ke rumah dalam hening. Ia meletakkan barang-barang bawaan di sofa kemudian langsung menghilang ke ruang kerja.
Sebegitunya kah dia tidak menginginkanku? Lalu mengapa ia mencium kepala serta menggenggamku sepanjang perjalanan pulang? Aku lantas mempertanyakan lagi kesungguhan Jordy. Jangan-jangan yang ia lakukan cuma sebuah formalitas. Pulang ke rumah inipun hanya untuk beristirahat. Tidak untuk Aidan, apalagi aku.
Daksaku membeku di sana.
Ruang keluarga yang tadinya selalu dipenuhi tawa Aidan juga Jordy yang ricuh setiap mereka bermain playstation. Sekarang... hampa. Benar-benar menjadi saksi bisu kehangatan itu memudar.
Keluarga? Bahkan aku tak lagi merasakan adanya hangat dalam keluarga kecilku. Jordy menjauh, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sedangkan aku...berusaha menguatkan hati, usai kehilangan buah hatiku. Acara pengajiannya akan diselenggarakan malam nanti, tapi Jordy sama sekali tidak membahasnya, tak peduli dengan perginya calon buah hati kami. Dia bilang dia juga sama terpuruknya seperti aku, tapi nyatanya Jordy hanya membual. Ia malah mengunci dirinya rapat-rapat seperti saat aku dan dia memutuskan untuk menikah dengan alasan demi Aidan.
Aku kembali ke kamar, menata pakaian-pakaianku di dalam lemari, sebelah pakaian dalam Jordy. Tak jauh dari situ, ada bingkai foto pernikahanku dengan Jordy saat resepsi. Tanganku tak sengaja menyentuhnya hingga terjatuh namun untungnya tidak sampai pecah. Kudirikan kembali posisinya, namun sesak seketika membuncah dalam benakku. Aku...tak bisa membayangkan jika suatu saat aku mengamini keinginanku untuk berpisah dengan Jordy.
Bagaimana dengan Aidan? Hal ini selalu membuatku tak berani mengambil langkah itu. Bukan karena penyesalan, juga bukan karena aku hancur dengan fakta Jordy masih mencintai Kirana.
Lima menit berlalu, aku masih menata beberapa potong pakaian yang belum kususun sejak aku terjatuh di kamar mandi. Posisi baju-baju itu masih sama, tercecer di lantai bahkan sampai masuk ke bawah kolong lemari. Aku membungkukkan tubuhku sedikit meski dokter melarang, karena hanya dengan cara seperti ini aku bisa melupakan masalahku.
Aku meringis pelan, karena ngilu itu ternyata masih ada walau tak seperti di hari-hari pertama. Setidaknya aku mampu dan bisa menyelesaikannya sendiri. Jadi...bila suatu saat aku harus meninggalkan Jordy dan Aidan, aku siap, dan tak lagi terbayang-bayang mereka.
—