152
Pintu kamar saya... tidak terkunci, padahal biasanya Mentari akan menguncinya jika ia sedang kesal dengan saya. Dia tak akan mau bicara atau bahkan melihat muka saya, seperti yang terjadi dua hari ini.
Kali ini ia membiarkan pintunya sedikit terbuka, memberi akses saya untuk bisa masuk dan memerhatikan kondisinya. Kamar yang semula berantakan pasca ditinggal berhari-hari telah ia sulap menjadi rapi. Saya tahu Mentari yang membereskannya. Kebiasaan bersih-bersihnya adalah jalan ninja Mentari untuk menenangkan diri. Tapi... saya tahu jauh dalam lubuk hati yang terdalam, ia memendam segala patah dan hancurnya sendirian.
Ia selalu tak berani menceritakan apapun pada saya karena takut berimbas pada pekerjaan saya. Kalau hal sebesar ini, tentu akan sangat berpengaruh bagi saya. Malaikat kecil kami berpulang, siapa yang takkan terpukul dengan kepergiannya?
Jangan kira...saya nggak hancur. Saya juga hancur, saya tidak bisa kata-kata yang saya ucapkan pada Mentari. Dia mungkin berpikir bahwa saya ikhlas dengan perginya anak kami, nyatanya tidak. Saya tidak baik-baik saja.
Hampir dua malam penuh saya menangis usai dokter yang menangani Mentari berkata bahwa anak kami sebenarnya bisa selamat, seperti yang dikatakan Bulik Ratih. Ia dan timnya berjuang mencari penyebab anak kami meninggal, namun mereka tidak menemukan penyebabnya.
Ia hanya berkata semua ini terjadi atas kehendak Tuhan, mungkin belum rezeki kami. Bagian itu makin mengiris hati saya karena saya langsung ditegur tak pantas menjadi seorang suami juga ayah. Saya lalai menjaga amanah ini. Ucapan Mentari sewaktu ia benar-benar marah pertama kali karena saya asal menuduh Aidan yang memukul temannya, seketika memenuhi kepala saya.
Benar...
Jika mengurus Aidan saja saya tidak bisa, mungkin kepergian malaikat kecil kami adalah ganjaran dari perbuatan saya.
—