178

“Maaf lama ya, Sayang.”

Sebuah kecupan singkat dari Mentari mampir di pipi saya. Ia datang dengan mengenakan mini skirt yang dipadukan turtle neck orange, persis kaus yang saya kenakan saat ini. Ia tersenyum samar, tapi jangan salah. Satu senyum Mentari sudah cukup menghanyutkan seorang Jordy Hanandian. Rambut hitamnya ia kuncir ke belakang, diluruskan. Padahal saya lebih suka rambut gelombangnya.

“Kamu catokan tadi?” tanya saya usai ia mendaratkan diri pada bangku penumpang.

“Kenapa? Aneh ya?”

“Kan kamu tau saya sukanya rambut kamu gelombang.”

Ia berdecih pelan, “ya biar rapi aja, Papi. Masa mau keliatan kayak orang bangun tidur?”

“Tau nih, Papi. Hu!” Aidan menimpali dari belakang. Saya geleng kepala mendengarnya. Semakin hari Aidan semakin menunjukkan sifat tengilnya yang saya gariskan.

“Kamu nih, Dan...” Saya hanya bergumam pasrah. Mentari tertawa kecil melihat saya yang menyerah atas celotehan Aidan.

“Ngalah sama Idan ya, Sayang,” bujuk Mentari sembari mengelus pipi saya. Aduh, kalau begini gimana saya bisa konsentrasi menyetir? Jika Mentari sedang memanjakan saya, rasanya saya ingin membatalkan jadwal Aidan main ke rumah Omanya. Lebih ingin spend time bertiga dengan Mentari dan Aidan di rumah, belum lagi reaksi Mama Recha jika bertemu Mentari.

Hingga saat ini, mertua saya belum menerima keputusan saya, meski memperbolehkan Aidan bertamu ke rumahnya. Seperti hari ini. Namun bila saya perhatikan lagi, Aidan...malah tak seantusias biasanya. Padahal dulu ia akan meloncat kegirangan bila diantar ke rumah mantan mertua.

“Mamaaah, nanti anterin Idan ya, Maaaah?” rengek Aidan tiba-tiba. Saya tentu langsung mengantisipasi. “Dan, nanti sama Papi aja. Kan sama.”

“Maunya sama Mamaaaah,” balasnya dengan manja. Saya sontak menggaruk pelipis, lantaran sudah terbayang apa yang akan terjadi seandainya Mentari menginjakkan kaki di rumah Mama Recha.

“Aidan—” “Gak apa-apa, Mas. Nanti aku temenin.” Mentari memotong ucapan saya dengan penuh keyakinan.

“Ri, nanti kamu malah diapa-apain sama Mama.” Ia mengusap punggung tangan saya, tatapannya lembut dan teduh. “Aku nggak akan kenapa-napa, cuma nganterin Idan sampe pager doang.”

Saya terenyak. Perempuan setulus ini sebenarnya tidak pantas mendapat perlakuan sekasar itu dari perempuan lain. Meski tak sedarah dengan Aidan, saya adalah saksi betapa Mentari sangat menyayangi anak saya. Ia mengurus putra saya seperti anak kandungnya sendiri, ditengah tengarai orang-orang yang meragukan Mentari karena usianya yang masih muda. Tapi terbukti kan? Ia lmembawa dampak besar bagi Aidan. Walau terlih at manja, Aidan yang sekarang lebih bisa menjaga emosi dan tantrumnya. Kalau perihal manja... Sepertinya hal ini masih harus pelan-pelan dihilangkan. Saya memaklumkannya sebab Aidan ingin merasakan kasih sayang seorang ibu. Maka wajar rasanya saat Mentari hadir dan menjadi ibu sambungnya, Aidan benar-benar menikmati perhatian darinya.

“Ya udah, nanti saya temenin. Saya akan berusaha keras supaya kamu gak diapa-apain sama Mama.”

“Iya, Sayang. Makasih banyak,” sahutnya seraya mengusap pipi saya pelan. . .

Kami tiba di rumah Mama Recha sekitar pukul setengah tiga sore. Memang melewati waktu yang sudah saya janjikan, namun jalanan Jakarta siang ini terlalu padat. Arah tol ke MT Haryono dipadati kendaraan roda empat, hingga saya harus cari jalan alternatif agar cepat sampai.

Namun sepanjang perjalanan, saya perhatikan Aidan tidak bawel dan excited seperti biasa. Padahal setahu saya, Aidan paling semangat kalau ke rumah omanya karena dia tahu apa yang saya larang akan dituruti oleh Mama Recha.

“Dan, kenapa?” tanya Mentari pada Aidan yang murung.

“Idan nanti sama siapa bobonya... mau sama Mamah...” Suara Aidan mulai gemetar.

“Kan cuma sehari, Nak. Besok Idan kan udah pulang...”

“Tapi maunya sama Mamaaaah, Mamah ikut nginep aja di rumah Oma, ya, Ma, ya?” Saya dan Mentari sontak berpandangan. Kami sama-sama bingung untuk menjelaskannya pada Aidan.

“Dan, itu kan bukan rumah Mamah sama Papi...” Mentari mencoba memberinya pengertian. “Kemaren Idan udah janji sama Oma, kan?”

“Tapi, Mamah kan Mamahnya Idan. Berarti Mamah boleh masuk ke rumah, kan Mamah istrinya Papi. Anaknya Oma juga.”

Pening langsung kepala saya. Aidan memang terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi antara mantan mertua saya dan Mentari.

“Dan, Mamah bukan anaknya Oma. Yang anaknya Oma kan Mami..”

“Tapi, kata Oma Papi anaknya Oma, terus kenapa Mamah gak boleh jadi anaknya Oma, Pi? Kenapa?”

Pertanyaan Aidan sungguh membuat saya tak lagi mampu menjawab. Aidan dan logikanya yang terlalu realistis memang terwaris dari saya, namun kadang di situasi yang tidak tepat. “Kalo Mamah ikut, Mamah kan bisa pake baju Mami. Bobo di kamar Mami berdua Idan. Mamah ikut aja, pleaseeeeee...”

Ia mulai merengek pada Mentari. “Idan, Mamah gak bisa sembarangan ke rumah Mami Kirana tanpa seizin Oma Recha, soalnya rumah itu kan rumahnya Oma Recha...”

Aidan melengkungkan bibirnya. “Tapi Mamah boleh anter ke dalem kan, Mah? Idan maunya Mamah ikut...”

That was unexpected.

Saya sudah kehabisan ide membujuk Aidan dan memberi pengertian padanya. Aidan yang saya kira akan baik-baik saja tanpa Mentari, justru paling takut berpisah darinya.

Kalau begini... mau tidak mau saya harus bicara dengan mantan mertua agar setidaknya Mentari boleh diizinkan masuk ke rumah.