179

“Oma, Omaaaaa!” Suara Aidan dari depan pagar sontak membuat mata para pekerja di rumah Mama Recha menoleh. Mereka menunduk sungkan, melirik saya dengan tatapan penuh simpati, seakan paham betapa saya sudah lagi tak dianggap keluarga oleh ibu mendiang Kirana.

“Sebentar ya, Mas Ody. Saya harus catat dulu nomernya. Ibu Recha bilang kalau tamu orang luar harus kita catat di buku tamu.”

Saya mengangguk paham. Kebiasaan ini juga saya alami saat dulu masih berpacaran dengan Kirana. Saya belum punya apa-apa saat itu, hanya motor buluk yang harganya tak sebanding dengan jejeran mobil sport koleksi mantan ayah mertua. Tentu kehadiran saya pasti akan ditolak mentah-mentah oleh satpam di sana.

Saya pikir hal itu tidak akan terulang lagi, ternyata keputusan yang saya ambil membuat mereka menganggap Aidan, cucunya sendiri seperti orang asing. Saya sebagai ayah Aidan sangatlah tak tega mendapati anak tak bersalah ini harus berpanas-panasan di bawah matahari sambil menenteng beberapa perbekalannya. Nurani mereka tampaknya sudah mati, padahal bisa saja mereka mempersilakan Aidan untuk segera masuk.

“Baik, Pak. Silakan. Dari dalam sudah diperbolehkan.” Saya langsung menggandeng Aidan dan mengantarnya, namun anak itu berhenti di tengah jalan.

“Om Satpam, Mamahnya Idan suruh masuuuuk! Mamah gak boleh tunggu di luar. Idan marah ya!”

Para satpam hanya tersenyum sungkan kala Aidan memarahi mereka, sedangkan saya cepat-cepat membawa Aidan ke dalam. “Idan gak mau masuk kalo Mamah gak masuk, gak nemenin!” Ia melipat kedua tangannya di dada.

“Dan, jangan gitu.. udah ditunggu Oma Opa. Ayo masuk,” ucap saya membujuk.

“Enggak! Idan mau Mamah juga sama Papi anterin Idan!” Ia menghentakkan kakinya. Dari kejauhan mantan ayah mertua saya memerhatikan. Beliau menuruni tangga kecil di halaman rumah menuju tempat kami berdiri, mengulurkan tangannya untuk menggandeng Aidan.

Namun dengan cepat Aidan menepis tangan mantan ayah mertua saya. “Kenapa Idan? Kan sama Opa.”

“Opa, kenapa Mamah Idan gak boleh masuk? Idan mau Mamah masuk juga.” tanya Aidan tanpa basa-basi.

“Ya karena... Mamah Idan itu bukan orang baik.” Dari belakang suara serta sindiran pedas itu terdengar. Bukan dari mantan ayah mertua, tapi siapa lagi kalau bukan Mama Recha.

“Mamah Idan baik kok, Oma. Mamah suka bacain buku cerita, Mamah temenin Idan belajar, Mamah masakin makanan kesukaan Idan. Dan...”

“Mamah bikin Idan lupa sama Oma, Opa dan Mami.” Mama Recha sengaja melirik saya sinis, seakan menyindir keputusan saya yang begitu ditentangnya.

“Iya kan? Coba. Dulu Idan seminggu sekali main ke rumah Oma, main sama Oma-Opa. Sekarang? Sebulan sekali. Pasti Mamah baru kamu itu yang bilang ke Papi supaya kamu gak main ke sini.”

“Enggak kok, Oma. Mamah gak pernah ngomong begitu.”

Ia tersenyum picik, “itu kan di depan Aidan. Idan gak tau di belakang, Mamah baru Idan bicara apa sama Papi.”

Ini keterlaluan. Saya tak menyangka bahwa setega itu nenek kandung dari anak saya meracuni pikiran cucunya.

“Jangan ngomong begitu, Ma. Mentari gak pernah bicara seperti itu!” Saya yang sudah terlanjur emosi, akhirnya lupa daratan. Saya meninggikan suara hingga mantan ayah mertua terkejut mendengarnya.

“Ody! Berani-beraninya ya kamu membentak istri saya!” Ia naik pitam, sedangkan saya terdiam menahan segala emosi yang mulai berkecamuk di dada.

“Maaf, Pa.” “Dengar, sampai saat ini nggak ada yang pantas untuk menjadi ibu dari Aidan. Boleh aja perempuan itu masuk ke sini. Silahkan.”

“Nggak usah, Ma. Saya pulang sekarang,” balas saya menahan emosi dan langsung meninggalkan halaman rumah, namun Aidan menarik baju saya. Ia memandang saya dengan tatapan melas.

“Pak, perempuan yang di luar suruh masuk ya.” Begitu titah Mama Recha berbunyi pada para karyawannya.

Saya lihat dari kejauhan Mentari melangkah, dan setelah sampai ia mencoba bersikap ramah pada Mama Recha. Tangannya telah terulur untuk menyalami punggung tangannya, tetapi Mama Recha bersikap angkuh dan tidak membalas uluran Mentari. Saya di sebelah Mentari, mengusap punggungnya pelan. Saya tahu dibalik wajah kalemnya, ia menyimpan sejuta luka akibat menerima perlakuan tak enak dari keluarga Kirana.

“Tuh, sudah ya, Idan.” “Mamaaah!” Suara Aidan berubah ceria. Ia menggandeng tangan Mentari kuat-kuat. Namun begitu kami sampai di dalam, Mentari tiba-tiba saja terhuyung-huyung, ia nyaris pingsan.