180
“Ri, kenapa?” Saya sontak menopang tubuh Mentari ketika ia nyaris saja terjatuh.
“Agak pusing sedikit,” bisiknya. “Gak apa-apa, Mas. Nanti minum obat juga hilang.” Saya tahu jawaban itu hanyalah titik aman yang Mentari berikan untuk saya agar tidak terlalu mengkhawatirkannya. Namun tetap saja, saya tak dapat menyembunyikan kecemasan saya kala mendapati wajah Mentari perlahan memucat. Beberapa kali ia mengerjapkan mata demi menahan pening.
“Mamah, Mamah, kita ke kamar Mami yuk.” Aidan datang, menarik tangan Mentari untuk ikut bersamanya. “Dan, Mamah gak bisa sembarangan masuk ke kamar yang bukan kamar Mamah... Mamah anter Idan sampe sini aja ya? Besok kita ketemu lagi. Oke?”
“Tapi, Mah...” Saya segera melirik Aidan, mengisyaratkan agar tidak memaksakan kehendaknya.
“Ya udah deh, Mah. Idan mau peluk Mamah sama kiss-kiss Mamah dulu.”
Mentari mengangguk, ia setengah berlutut kemudian mendekatkan pipinya pada Aidan. Namun dari yang saya perhatikan, sepertinya Mentari hanya sedang berpura-pura kuat. Tadi dia sempat hampir lunglai lagi.
“Jangan lama-lama, Dan. Mamah harus istirahat,” kata saya padanya. Mendengar ucapan saya, lagi-lagi Mama Recha menimpali.
“Aduh, aduh... Mesra sekali ya Mentari dan Ody. Kayaknya kamu sangat menikmati ya, menjadi pengganti Kirana,” cicitnya sembari berjalan ke sebelah Mentari. Aroma cendana khas wewangian Kirana tercium kuat, Mentari di sebelah saya mengendus pelan. Tangannya menggenggam lengan saya erat.
“Ma, Ody sama Riri balik dulu, ya.”
“Kok cepet banget? Gak mau nostalgia sama istri pertama kamu, Dy? Biar gimanapun Kirana sangat berharga buat Idan dan berjasa dalam hidupmu. Jangan karena satu perempuan gini dong, kamu jadi melupakan Kirana.”
“Ma, saya minta untuk tidak bicara kayak gitu di depan Aidan dan Riri,” tegas saya padanya, tetapi Mama Recha cuma menanggapi dengan senyum remeh khasnya dan tanggapan tersebut membuat emosi saya makin menyeruak di dalam. Tanpa permisi, akhirnya saya tinggalkan rumah penuh kenangan itu.
“Mamaaaaaahhhhh!” Aidan menjerit saat Mentari berjalan meninggalkan kediaman Mama Recha.
“Idan, liat. Liat gimana Mamah baru kamu itu memengaruhi Papi. Sekarang Papi jadi orang jahat kan? Idan mau jadi seperti Papi?” Mama Recha enggan berhenti memengaruhi Aidan.
“Oma, Idan mau pulang. Idan mau sama Mamah dan Papi. Idan nggak mau di sini!”
“Kenapa gitu, Dan? Oma dan Opa udah siapin makanan kesukaan Idan,” cegat mantan ayah mertua saya.
“Mamah Idan bukan orang jahat! Mamah Idan orang baik! Mamah Idan surganya Idan sekarang!” balas Aidan sengit, wajahnya memerah karena dipenuhi amarah. Ia menyusul kami, namun saat sampai di depan pagar, Mentari terjatuh lemas. Ia nyaris tak dapat berdiri tanpa bantuan sambil memijat kepalanya.
Perasaan saya mendadak tak menentu kala mendapati Mentari meringis kesakitan. “Kepala saya sakit.” Ia melirih sendu.