182
“PAPIIIIII! Idan mau pulang, enggak mau disiniiii!” rengekan Aidan memecah kepala saya siang itu. Ia menelepon saya sambil menangis kencang. Biasanya, Aidan nggak pernah serewel ini.
“Dan, nanti Oma marah sama Idan...” “Gak mauuu! Idan mau sama Mamah sama Papi, Oma tadi nakal sama Mamah!”
Saya terpaksa memutar balik stir mobil dan menjemput Aidan ke rumah mantan mertua. Begitu sampai, jangankan Aidan diantar oleh Oma Opanya, anak saya hanya disuruh tunggu di luar rumah sendirian.
Emosi saya yang tadinya masih tertahan, akhirnya meluap dengan sendirinya. Saya tidak akan pernah mengizinkan Aidan bertandang ke rumah ini. Tanpa berlama-lama, saya turun dari mobil menggendong Aidan yang menangis tersedu-sedu.
“Papiiii, huhuhu... Idan kepanasan, Pi...” adunya dalam gendongan saya.
“Ya udah, iya. Idan tidur di belakang ya, Mamah lagi sakit soalnya. Mamah juga lagi bobo. Jangan diganggu dulu.”
“Iya, Papi.” Untung Aidan mengerti keadaan Mentari yang telah tertidur pulas di sebelah saya. Anak itu langsung duduk manis sambil menikmati susu kotak yang selalu disediakan Mentari setiap kami bepergian.
Sesampainya di rumah, Mentari tak banyak bicara seperti biasa. Bahkan menengok Aidanpun tidak. Yang ia lakukan justru langsung masuk kamar dan berganti baju.
Baju yang Mentari kenakanpun... tidak begitu asing bagi saya. Warnanya merah pekat, agak sedikit tipis, mirip punya Kirana.
“Ri, kamu dapet baju ini dari mana? Beli?” tanya saya padanya.
“Iya, dari lama,” jawabnya singkat. Yang aneh dari Mentari, nada bicaranya terdengar datar. Tidak seperti Mentari yang saya kenal.
“Ri.” Penasaran, saya kembali mengajukan pertanyaan. “Ga bacain Aidan buku cerita?”
Mentari memutar tubuhnya lalu menghadap saya. “Idan capek, biarin aja dia istirahat. Aku juga sama, mau tidur.”
“Ri...” Gelagat Mentari benar-benar aneh malam ini, sebab ia tidak memiliki kebiasaan semacam merapihkan sisi tempat tidur yang akan ditidurinya.
Kebiasaan itu...
Hanya Kirana yang punya.