185
“Mamaaaah!” Aidan nenyisakan sepotong roti ketika mendapati Mentari keluar dari kamar. Biasanya, Mentari akan membalas sapaan Aidan, bukan mengacuhkannya. Tapi pagi ini dahi saya berkerut dalam menyaksikan Mentari yang seacuh itu pada Aidan.
Binar mata Mentaripun tidak sehangat biasa. Sendu dan hampa beradu di manik matanya. Yang menjadi fokus Mentari cuma saya. Dan entah mengapa setiap kami beradu tatap, pelupuk matanya basah.
“Ri,” panggil saya. Mentari menoleh, ya, namun pandangan yang terarah pada saya sama sekali tidak menunjukkan rasa sayang, melainkan dalam dan penuh amarah.
Entahlah mungkin saja saya berpikir terlalu jauh. Tapi sejak awal Mentari bangun, perasaan tak enak segera membubuhi benak saya. Dari semalam, saya tak bisa tertidur nyenyak seperti malam-malam biasanya.
“Ada apa?” tanyanya linglung. “Idan nyariin kamu,” beritahu saya. Dia cuma bergeming. Tidak seperti Mentari yang jika mendengar Aidan mencarinya, akan langsung menghampiri dan memeluk anak itu.
“Ri, are you okay? You're different today, you know?”
“No, I'm not. I'm fine.”
Pikiran saya semakin buntu mendengar jawaban kekeuh Mentari. Dia tidak pernah menjawab balik dalam bahasa Inggris, karena Mentari mengaku beberapa kali ke saya bahwa bahasa Inggrisnya sangat minim.
It's ridiculous, aksen bicara Mentari sangat fasih dan terdengar seperti native American.
“Ri.” Dikepung rasa penasaran, saya kembali memanggilnya.
“Apa?”
Mentari tidak akan menjawab seperti ini. Sedari tadi kami berbincang, ia bahkan tidak memanggil saya dengan sebutan Mas.
“I'm asking you once again, are you really okay?”
Ada gelisah yang terpancar dari manik mata Mentari. “Aku baik,” jawabnya kemudian.
“Saya udah mau berangkat nih.” “Iya, hati-hati.”
“You're not doing my hair?” Mentari terperangah, menatap saya seolah pertanyaan itu aneh.
“Emang kamu nggak bisa nyisir sendiri?” Jawaban Mentari sukses membuat saya yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi padanya. Semenjak pulang dari rumah mantan mertua, sosok Mentari yang saya kenal seakan hilang. Kemarin saja ketika kami pulang, Mentari langsung berganti baju. Dia melupakan Aidan. Tidak mengecup kening apalagi membacakannya buku cerita.
Aidan sampai-sampai mengeluh pada saya lantaran Mentari bersikap dingin padanya.
“Ri.” Sebelum saya benar-benar meninggalkan rumah, ada satu hal yang perlu saya pastikan.
“Kenapa?” “Bulik Ratih nelepon kamu semalem, saya udah tidur karena kecapekan. Nanti tolong balas WA-nya Bulik.”
Percaya tak percaya, atau bisa saja pendengaran saya salah, ketika saya melangkah menuju daun pintu... saya mendengar ada suara geraman persis di belakang saya.
Saya harap kali ini saya dapat bekerja dengan tenang.