188 Mereka Menang, Kita Yang Kalah

“Papiiiiiii!!!” Jeritan histeris Aidan menderu sampai keluar unit apartment ketika saya baru saja membuka pintu. Aidan langsung membuang badan ke saya untuk mencari perlindungan.

“Idan... ikut Mami, Nak... Ikut Mami... Perempuan ini jahat, dia mau pisahin kamu sama Mami...”

Saya cukup terkejut menyaksikan mimik muka Mentari yang sungguh persis dengan Kirana, bahkan intonasi mereka pun sama. Tangannya terulur, berusaha mengelus pipi Aidan, seperti yang sering Kirana lakukan apabila Aidan sedang rewel.

“Jangan sentuh anak saya!” hentak saya agak keras, tapi sambil terisak Mentari melirih

“Ody, Idan anak aku juga...”

Jawaban yang terlontar dari Mentari benar-benar membuat saya frustasi. Berarti ucapan Bulik Ratih selama ini... benar.

Mentari dibuntuti Kirana selama berbulan-bulan, raganya dipinjam Kirana dan saya... tak pernah memedulikan hal itu. Saya membiarkan Mentari dipakai Kirana untuk tinggal tetap bersama kami. Saya memandang Mentari yang kini meraung di depan Aidan, memohon agar saya mengizinkan ia menyentuh Aidan.

“Kamu minta aku untuk ga pergi dari kamu!” Mata Mentari membelalak, menantang saya.

“Aku udah nurutin mau kamu, Ody! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu nikah sama perempuan brengsek ini! Kamu nipu aku, kamu bohongin aku, Dy! Kamu bilang cuma aku yang ada di hati kamu! Tapi kamu ngapain? Kamu sampai punya anak dengan perempuan ini!”

Ia menggeram setelahnya, lalu kembali meninggikan suara.

“Kalo kamu mau tau...siapa yang udah bunuh anak kalian di rahim perempuan ini...itu... aku pelakunya.”

“Aku gak akan pernah rela kalian punya anak! Aku juga gak sudi perempuan ini menyentuh anakku!”

Kirana... dalam tubuh Mentari semakin tak terkendali. Ia berlari menjatuhkan benda-benda tajam, lalu dengan gerakan cepat, ia meraih satu benda itu dan hendak menggoreskan tepat di pergelangan tangan Mentari.

“Kalau kamu nggak mengizinkan aku meluk Aidan, aku akan bikin perempuan ini bersatu denganku di sana!”

Mendengarnya, saya naik pitam. Segera saya jatuhkan gunting yang sedikit lagi akan menggores luka pada nadi Mentari. Tapi kemudian, saya diam sejenak, teringat satu kejadian yang sama ketika saya dan Mentari belum menikah.

Lutut saya lemas seketika. Peristiwa itu ternyata sama, dan artinya Kirana benar-benar hadir selama ini. Dia berada di tengah saya, Aidan dan... Mentari. Saya langsung melangkah mundur, tangan saya gemetar saat harus memindahkan gunting itu ke meja. Kepala saya racau, perasaan saya kacau. Mentari... dapat saya simpulkan, menjadi alat Kirana untuk menjaga Aidan dan saya?

Ini semua bagai cerita horor yang sering dikemas oleh para sineas berbakat. Tapi naas, saya benar-benar mengalaminya sendiri.

“Perempuan ini harus mati!” Saya yang berada di depan Mentari, langsung memeluk tubuhnya. Saya tak peduli seberapa lelahnya saya hari itu, asal Mentari selamat dan kembali. Dia tidak boleh pergi.

“Perempuan ini harus matiiiiiii!!!!” Tangannya memukul area perut. “Akan kurusak rahimnya sampai dia gak akan bisa punya anak!”

“Siapa yang suruh njenengan?” Lantang suara itu berasal dari Bulik Ratih. Ia menekan ibu jari kaki Mentari sehingga ia mendadak berteriak kencang.

“TIDAAAAAAKKKKKK!” “JAWAB!” cecar Bulik Ratih. Saya hanya bisa memandang Mentari nanar, memeluk tubuhnya dari belakang dan merasakan bahwa hawa tubuh istri saya...terasa sangat dingin. Ini bukan seperti suhu badan manusia normal lainnya, ia bagai keluar dari lemari es.

“Paklik, ini kenapa badan Mentari dingin kayak gin—”

“Saya harus bunuh perempuan ini!” Mentari berteriak, badannya yang kecil itu bisa-bisanya terlempar ke belakang hingga saya ikut kehilangan keseimbangan.

“Apa yang dia janjikan sama kamu, Kirana?!” Bulik Ratih bertanya pada sosok yang berada di tubuh Mentari. Sosok itu tersenyum, matanya menatap saya kemudian.

“Perempuan gak akan bisa punya anak dari suami saya... Dia janji sama saya bahwa Mentari bakalan pisah dengan Ody dan ga akan ngusik Ody lagi,” telunjuknya kemudian mengarah ke saya. Cengiran meremehkan dari sosok itu sungguh memupuk emosi saya seketika itu juga.

“Kenapa kamu tega banget, Na...” Saya cuma bisa berkata-kata singkat seraya memandang sosok yang mengaku dirinya adalah Kirana itu miris. Kirana yang saya kenal, meskipun angkuh, bukanlah pendendam. Ia mudah memaafkan orang lain.

“Kalau kamu bilang aku tega...Mana janji kamu tiga tahun lalu?”

Semua sontak melirik saya yang berusaha keras mengingat janji yang pernah saya ucapkan pada Kirana.

“Apapun itu, saya minta untuk pergi, jangan ganggu saya lagi.”

Sosok itu tertawa puas, suaranya melengking. “Aku istri kamu, Ody! Gimana bisa aku ganggu kamu? Perempuan ini yang aku pinjem badannya supaya bisa nepatin janjiku sama kamu, tapi kamu ngapain?!”

Saya terdiam memandang betapa sosok itu menghancurkan mental saya sebegini dalamnya. Kirana atau bukan, buat saya sudah tak penting. Saya hanya ingin Mentari selamat dan kembali.

“Jordy... kamu pernah janji apa sama Kirana, Nak? Ini sudah terlalu lama.”

”...Bahaya buat Riri, Jordy. Mereka mengunci Riri jadi ruhnya gak bisa balik ke tubuh ini...”

Nafas saya tercekat, dipenuhi rasa bersalah yang teramat dalam. “Kalau dibiarkan, Mentari gak akan lagi bisa balik ke tubuhnya.”

“Maksudnya apa, Paklik?” Suara saya gemetar.

“Mereka menang, Jor. Kita yang kalah.”