189

“Paklik, jangan bercanda. Tolong Mentari, Paklik. Tolong...” tangis saya pecah begitu saja. Saya dekap tubuh Mentari dari belakang seraya memberi elusan pada puncak kepalanya. “Ri, pulang, Sayang. Inget Aidan, inget saya, Ri... Pulang...”

Saya terus mengucapkan kata-kata itu, mencoba menyalurkan affirmasi padanya dengan harap Mentari tidak akan meninggalkan kami selamanya.

“Njenengan ini kok yo ngeyel? Opo ndak tau, kalau sukmane arek iki wis dadi milikku. Bojomu neng ngarep wis dadi boloku, de'e njaluk kowe karo arek iki pisah. Sakjane bojomu sing anyar entar lagi tak nikahi sekalian.” (Kamu ini maunya apa, dibilangin kok susah? Apa nggak tau kalau sukmanya perempuan ini udah jadi punyaku? Istrimu di atas sudah jadi orangku. Dia ingin kalian berpisah. Istrimu yang baru sebentar lagi juga bakal aku nikahi.)

Suara itu...suara serak yang pernah saya dengar sewaktu Mentari menanduk-nandukkan kepalanya, juga melipat tangan di depan dada. Apa ini sosok yang sama? Ditengah tengarai saya menerka, kepala saya tiba-tiba dibuat pusing oleh bau busuk menyengat yang mengitari sekeliling kami.

“Jangan ganggu Mentari lagi!” Bulik Ratih mengancam. Ia mendekati Mentari kemudian mengusapnya sebanyak tiga kali dengan tasbih di tangan. Tubuh Mentari ternyata langsung bereaksi. Dalam dekapan saya, suhu badannya mulai terasa hangat, namun tidak demikian dengan jeritan serta tawa melengkingnya yang menggelegar.

“Yang masuk dan ngikut Mentari ada tiga, Jordy. Kirana, dan dua lagi adalah suruhan orang.” Paklik memberitahukan dengan nada tenang, tapi buat saya informasi itu bagaikan bumerang.

“Suruhan orang?” Dahi saya mengernyit dalam. Paklik memandang saya dengan raut wajah menerawang.

“Ya.” Ia menepuk pundak saya kemudian. “Kamu sudah mengenal orang itu sebelumnya. Mungkin pernah ketemu.”

Tentu saya tidak perlu menerka terlalu lama, begitu Paklik memberi kode atas sosok yang ia bicarakan, otak saya segera mengingat perempuan yang disebutkan Paklik.

Andini, ibu tiri Mentari dan ibu kandung Dhea. Beliau bahkan menjual Mentari pada seorang pejabat daerah hanya gara-gara utang yang ditinggalkan ayah mertua saya.

“Asal kamu tau, Jordy...” Saya melirik Paklik serius.

“Papanya Riri, alias kakak kandung Ratih meninggal dengan cara yang gak wajar. Dan kamu pasti tau siapa pelakunya...”

Tegukan saliva saya semakin dalam setelah tahu fakta ini.
Pantas... dia pernah menelepon saya hingga dua belas kali saat dulu kami belum menikah. Hal itu ia lakukan tanpa sadar, karena mungkin ia sangat merindukan papanya.

“Maaf kalau saya lancang, Paklik, karena Riri gak pernah cerita soal ini ke saya... Jadi papanya Riri meninggal...?”

”...Wallahualam Jordy, kakak ipar saya meninggal dengan cara gantung diri.”

Saya lagi-lagi cuma bisa tertegun mendengar penuturan Paklik. “Kata Ratih, Beliau sering dengar bisikan yang nyuruh Beliau untuk mengakhiri hidupnya.” Nafas saya tercekat, mengingat mimpi-mimpi saya yang berkaitan dengan penjelasan Paklik. “....Riri menyaksikan sendiri peristiwa mengerikan itu. Riri masih seusia Aidan waktu kakak ipar saya meninggal dan... ya seperti yang kamu tau, Riri dan papanya sangat dekat, Jordy. Kami sekeluarga sangat khawatir Andini memang sudah ngerencanain ini dari lama...”

Saya makin tak berdaya saat Paklik menceritakan semuanya, bayang-bayang kepergian Kirana juga Mentari yang masih belum kembali ke tubuhnya tiada henti menghantui. Saya benar-benar takut jika Mentari tak akan selamat.

Sebab setelah tiga jam Bulik Ratih berjuang, Mentari tetap sama. Teriakan histeris dan tawa melengkingnya tetap bergema, membuat telinga menjadi pekak seketika. Belum lagi bobot tubuhnya yang tak masuk akal. Saya seperti tengah menopang sepuluh orang.

“Aku njaluk arek iki... Arek iki wis dadi milikku. Dia ndak isa balik....” Sosok itu memberontak lalu menjulurkan lidahnya pada saya, sedangkan Bulik Ratih mengusapkan air yang telah dibacakan doa pada wajah dan tubuh Mentari.

“PANAAAAS!” Ia berteriak, lalu membanting diri ke lantai. Dahinya tak lama membiru karena sosok itu membenturkannya terlalu keras. Saya menempelkan telapak tangan di lantai, namun sosok itu justru mencari lantai lain untuk membenturkan kepala Mentari.

“Ngomong! Kamu dijanjikan apa oleh dukun itu!” cecar Bulik Ratih.

Sosok itu tertawa cekikan, “bayi...darah, dan rahim yang rusak.

Saya hancur mendengar kekehan sosok itu. Siapapun dia yang mengisi jiwa Mentari, mau Kirana atau bukan, saya sangat tidak terima dengan kelakuannya.

“Na, kenapa tega, Na...” Tangis saya tak lagi dapat terbendung.

Namun sedihnya saya ternyata tak berarti di mata Kirana. “Tega? Kenapa aku harus peduli sama laki-laki pembohong seperti kamu?! Kamu datang ke rumahku saat kamu mau menikah dengan sundal ini, tapi sekarang kamu nuduh aku tega? Apa kalian gak mikir aku sangat merindukan anakku, Idan?!”

”...Aku juga ingat persis, kamu...nangis dan bilang kalau kamu ga akan pernah lepas cincin pernikahan kita! Tapi kamu malah simpan cincin itu di lemari!”

”...MAKANYA AKU DENDAM SAMA PEREMPUAN INI! AKU UDAH GAK PEDULI APA YANG DUKUN ITU JANJIKAN SAMA AKU! AKU HARUS BAWA AIDAN PERGI DAN IKUT DENGANKU!”

“Nggak bisa!” bentak Bulik Ratih. “Kalian beda alam! Kalau kamu bawa Aidan, sama saja kamu bunuh anakmu sendiri!”

“Kamu harus ikhlas, Kirana. Tempatmu bukan di sini lagi.”

Tangisnya pecah. “Aku nggak akan pernah ikhlas Od—” Bulik Ratih mengusap wajah Mentari dengan air yang telah dibacakan doa, dan setelah itu tubuhnya menghangat. Tapi sayang hanya sebentar. Tiba-tiba ia menghentakkan tubuhnya seperti orang kepanasan.

”...RATIH!!! Tak pateniiiiiiii kowe!” Mentari lepas kendali, wajahnya berang. Ia mencekik leher Bulik Ratih hingga Bulik terbatuk-batuk.

Saya hanya bisa menahan Mentari dari belakang sambil mengikuti arahan dari Paklik. “Panggil Riri terus agar dia bisa kembali ke badannya.”

“Ri, inget...Aidan. Aidan kangen sama kamu, Sayang. Inget... Balik sini. Saya peluk... Pulang, Ri...”

Mentari akhirnya melepas cengkramannya dari leher Bulik Ratih, ia terkulai dalam dekapan saya.

“Mas.... sakit...” “Lawan, Ri. Lawan. Jangan diikutin maunya—”

“Maafin aku Mas... Aku sayang kamu...Aku sayang sama Aidan... tapi Mba Kirana marah kalau aku tetep disini...”

“Ri, please? Tolong, jangan pergi, Ri. Saya cinta sama kamu, saya sayang sama kamu, Mentari,” bujuk saya sambil menangis. Ketika saya berkata demikian, Mentari meremas perutnya sendiri lalu dia mulai berteriak histeris lagi, “KAMU HARUS MATI!!!!!”

Mentari terus memukul dan meremas perutnya berkali-kali, namun saya tidak membiarkan Kirana menyiksa Mentari terus-terusan. “Kirana, aku minta maaf kalau akhirnya aku ga nepatin omonganku ke kamu. Tapi aku sudah ikhlas kamu pergi... Mentari jaga dan sayang sama Aidan seperti anaknya sendiri... Tolong, Na, jangan nyakitin orang lain...”

”...ka..mu...ba...jing...an,” terakhir sebelum Mentari menutup mata, daksanya menyorot saya intens.

“Pergi yang tenang di alammu.” Bulik Ratih datang bersama seorang Ustad yang mengusap kedua mata Mentari pelan-pelan.

“Andini, jangan sembunyi kamu. Kalau dulu saya kecolongan saat nolong Aiman, tapi sekarang tidak sama.” Ustad itu berkata kemudian langsung membacakan ayat-ayat suci ke telinga Mentari. Jeritannya makin histeris seiring Ustad membersihkan Mentari dari makhluk-makhluk tak kasat mata. Setengah jam berlalu dan akhirnya... Mentari kembali dalam pelukan saya.

Saya hanya bisa menangis dan terus menenangkan tubuhnya yang lemah karena terus bergerak. Satu per satu bagian tubuhnya membiru.

“Untung belum terlambat Jordy, kalau nggak kamu antar jenazah Mentari.”

Saya terpukul mendengar teguran sang Ustad. Sontak saya menoleh padanya, lalu bilang. “Saya minta maaf Pak.”

“Gak perlu minta maaf ke saya. Maafnya ke Riri dan keluarga saja. Dan inget, Jordy... jangan sekali-kali mengucap janji dengan barang beginian kalau gak mau kejadian ini terulang..”

”...Satu yang harus kamu ingat, kita hidup berdampingan dengan mereka. Dan istri kamu... punya weton yang sakral. Kamu ga bisa mengabaikan itu. Dari kecil banyak yang menyukai Riri tapi saya pagarin supaya dia bisa hidup dengan baik. Kalau enggak, mungkin kamu akan bertemu dia di rumah sakit jiwa.”

Nasihat-nasihat yang diberikan kepada saya adalah teguran keras juga pengingat bahwa saya gagal menjadi suami untuk Mentari. Saya malu sekaligus merasa kecil hati. Ulah saya sejak mengenal Mentari ternyata telah mengancam nyawanya.

Saya memandang Mentari yang berbaring lemas di sofa, menggenggam tangannya mungkin satu-satunya cara agar saya merasa pantas untuk menjadi pasangannya. Tapi hati saya tak lagi dapat berdusta, saya tidak mau Mentari kehilangan nyawa hanya karena saya.