191
Yang terus terngiang-ngiang dalam pikiran saya cuma satu.
Pak Ustad bilang, Mentari bisa tak tertolong jika suatu saat kejadian ini terulang.
“Kamu udah tau, kalau weton kalian bentrok?”
Ia menghisap rokoknya dalam-dalam saat saya mengangguk.
”...Ya, salah satunya juga karena itu, tapi di sini saya tegaskan, semua terjadi atas izin Allah. Kalau Allah berkehendak, semua yang kalian alami cuma cobaan.”
Raut wajah Beliau tampak kusut, seakan meyakinkan saya bahwa jalan saya dan Mentari sedari dulu sudah berbeda.
Saya...harus melepas Mentari apabila ingin melihatnya selamat dan tetap hidup. Saya tidak akan membiarkan Kirana terus mengganggu Mentari hanya karena belum rela pergi dari hidup saya dan Aidan.
“Mendiang istrimu... melakukan perjanjian dengan dukun yang ditugaskan Andini. Mereka mengimingi-imingi rumah tanggamu berantakan dan kalian berpisah,” lanjut Pak Ustad ketika acara pembersihan rumah dan Mentari selesai.
Pandangan menerawang Pak Ustad kemudian terarah pada saya, “perjanjian itu gagal, Jor. Karena leluhur Mentari yang merupakan keluarga terpandang di Yogya membantu. Kasarnya, tadi Mentari selamat itu atas bantuan yang tak kasat mata...”
Beliau menghisap sisa puntung rokoknya yang terakhir, “Walaupun Mentari udah keliatan normal, bukan berarti semuanya sudah selesai... Perjalanan Mentari untuk sembuh masih panjang.”
Itu berarti jika saya terus berada di sebelah Mentari, Kirana juga akan berada di sekitar kami. Kapapunpun Kirana mau berkomunikasi dengan saya dan Aidan, ia akan mengganggu Mentari.
Saya dan Pak Ustad saling diam beberapa detik, kepala saya tertunduk pilu. Bahkan untuk menoleh dan bicara dengan Beliau-pun saya tak sanggup.
Saya takut apabila Pak Ustad membahas sesuatu yang paling tidak mau saya dengar dan hadapi. Terdengar seperti pecundang remeh, namun kenyataannya memang begitu.
”...Kamu siap dampingi selama pengobatannya?” Pak Ustad akhirnya menatap saya dengan raut wajahnya yang terlihat ragu.
“Saya siap, Pak Ustad. Saya akan ngelakuin apapun asal Mentari bisa sembuh dan tetap hidup,” jawab saya cepat.
Beliau tersenyum tipis, “kamu yakin cinta sama Mentari?” Lalu ia menggelengkan kepala.
”...Maksud Pak Ustad?”
“Coba inget-inget lagi, apa yang kamu lakuin sebelum kamu menikah sama dia.”
Lagi-lagi saya cuma bisa diam sembari menatap Pak Ustad dengan wajah redup.
“Harusnya kamu enggak melakukan itu, Jor. Kalau emang belum bisa lupa, jangan dipaksa. Meskipun semestamu sudah mati, tapi raganya tetap di sini...”
Segala kepercayaan diri saya luluh lantah kala Pak Ustad menghantam saya dalam satu kalimat. Saya..memang sepayah itu dalam hal mencintai. Saya tidak seberani Aidan dalam hal menunjukkan kasih sayang, kalau nyakitin, saya mungkin menang bawa piala. Beliau sekali lagi menoleh ke saya lalu melanjutkan ucapannya,
“Ikhlaskan Kirana pergi dari dunia ini, karena tempat dia udah bukan di sini...”
Sekarang saya sadar mengapa setelah beberapa bulan menikah dengan Mentari, kami selalu bertengkar.
Kata Pak Ustad, Mentari terkadang tidak sadar bahwa alam pikirannya dikuasai Kirana. Ada beberapa kali ia selalu berperilaku seperti Kirana, nggak jarang Mentari juga kesal bila saya melakukan kesalahan terlebih jika alasannya karena Kirana.
“Pikirkan baik-baik, Jor. Kalo memang kamu sangat mencintai Mentari, tunjukkin ke dia. Kalo masih bimbang... kamu harus membuat keputusan yang tepat dan baik untuk kalian berdua..”
Saya mengangguk dan belajar menerima semua masukan Pak Ustad. Namun setelah Beliau beranjak meninggalkan saya di ruang depan, pikiran saya bercabang.
Ada perasaan ingin mempertahankan Mentari karena saya yakin betul bahwa sekarang saya benar-benar mencintainya...tapi di sisi lain, saya ingin ia selamat dan tetap hidup karena bertaruh nyawa untuk saya dan Aidan.