192

Nggak banyak yang diucapkan Jordy padaku begitu ia sampai di kamar. Ia hanya berbaring di sampingku dengan tatapan yang terarah kepadaku. Aku menemukan ada rasa bersalah dari binar matanya.

“Sayang...” Tangisku tak terbendung, membuncah hebat kala Jordy membalik badannya menghadapku. Jordy tetap dalam bungkamnya, cuma tangannya saja yang bergerak mengaitkan peluknya padaku, erat.

“Udah, Ri. Istirahat. Inget kata Pak Ustad, kamu gak boleh inget-inget lagi, nanti kepancing.”

Mungkin aku terlalu mengenal pribadi Jordy meski usia pernikahan kami baru sebentar, aku tau raut wajah yang terlihat tenang itu menyampaikan berjuta makna. Pertama, ia menyesal, yang kedua—ia khawatir, dan ketiga—merasa bersalah. Dia cuma menyembunyikannya lewat nada lembut dari bibirnya serta kecupan ringan pada bibirku.

“You'll be fine, Sayang.” Mata coklat susunya beradu pandang denganku dalam binar teduh.

“Makasih...” Aku mempererat pelukku.

Kami diam sejenak setelah itu, membiarkan pikiran kami berkelebat dengan racauan masing-masing, tapi aku sangat menikmatinya. Walau kami tak saling bicara, namun sentuhan yang Jordy berikan sangat membuatku tenang.

“Sayang.” Aku menjadi lebih banyak bicara darinya hari ini, entah mengapa aku hanya ingin melakukannya.

“Iya, Ri?”

“Jangan berubah pikiran lagi ya, Mas?”

Ia tampak terkejut. “Are you scanning me just now?”

Aku si paling payah dalam bahasa inggris hanya melongo. “Maksud saya, kamu baca pikiran saya atau gimana?”

“Ngaco. Aku gak bisa kalo yang itu. Cuma gak tau kenapa... aku takut gak akan bisa liat kamu sedeket ini lagi. Aku takut, Mas.”

“Gak usah mikir gitu-gituan, kalau kamu gak bisa liat saya sedeket ini, kan bisa vidcallan.”

“Jadi... kamu mau pergi?” Dia kok panik ya? Dengan gelagapan, ia menjawab. “Ng.. Enggak, Ri. No. Kalo lagi capek gini, saya suka ngawur. Dah tidur, besok pagi kita ngobrol lagi.”

Aku mengangguk meski pikiranku berisik sendiri. Mataku terpejam, tapi satu yang kusadari berubah dari Jordy—bahwa—kaitannya di pinggulku terlepas. Bahkan bukan cuma itu...cincin pernikahan kami yang selalu melekat di jari manisnya pun tak terlihat di pandanganku.

“Ri.” “Hmm?”

“Promise me something?” “Apa?”

“Be happy.” Tangisku nyaris pecah kembali.

“Aku akan hepi-hepi aja asal kamu dan Aidan yang megang tanganku. Inget gak kamu aku pernah bilang gitu?”

“Saya belum tua-tua banget kali, inget saya.”

“Kalo inget, kapan emang aku ngomongnya?”

“Pas kita lagi argued,” jawabnya dengan suara sepelan mungkin.

“Kamu lupa berarti.” Aku berkata pedih.

“Kenapa cincin nikah kita kamu lepas, Mas?”

Ia langsung berbalik menghadapku kembali.

“Just remember, at any circumstances we face, you'll be here. Forever.” Jordy meraih tanganku dan meletakkannya di atas dada kiri. Sayangnya kemampuan Jordy berbohong sangatlah payah. Mau seperti apa ia mengeluarkan kalimat rayuan, aku tahu ia cuma berpura-pura melakukannya.