20
Saya sempat mengira ujian rumah tangga kami usai setelah Kiori lahir. Ternyata Tuhan belum puas dengan membuat Mentari nyaris mengakhiri hidupnya beberapa saat lalu.
Kini dia terbaring lemah di ICU dengan wajah pucat dan pandangan redup. Ia menatap saya penuh rasa bersalah, pun pada perutnya—mempertanyakan apakah anak kami masih selamat atau tidak.
“She's here.” Saya menjawab pelan diiringi tangisnya yang kemudian pecah.
“Aku gak tau aku kenapa, Mas... Aku bukan gak bisa nerima anak ini, tapi aku belum siap... Bener-bener takut Kiori masih butuh aku,” bebernya sambil terisak.
Raungannya membuat saya tak lagi sanggup berucap dan hanya menenangkannya lewat sebuah pelukan erat.
“Pertanyaanku cuma satu, Ri... Kenapa kamu bisa sampe nekat begitu?”
Ia bungkam kemudian melirik saya putus asa. Tangannya membelai punggung tangan saya.
“Jawab,” desak saya.
“Aku udah berkali-kali bilang sama kamu, Mas.. Aku ini belum siap jadi ibu lagi...”
“Terus, kayak gitu cara nyeleseinnya? Kamu sadar nggak, kamu udah ngebahayain dua orang?”
Ia tercenung saat nada saya meninggi. “JAWAB, RI!”
“Maaf, Mas... Aku takut aku gak bisa jadi ibu yang bertanggung jawab, istri yang gak baik buat kamu...”
Entah karena kekhawatiran dan kecewa yang bertubi-tubi, saya mendadak lepas kendali hingga membuat Mentari gemetar takut.
“I was sorry for making you miserable, too. Harusnya aku gak bablas malem itu.”
Ia melepas genggaman tangannya dengan wajah pedih. “Soal yang itu...”
“Aku juga salah, Ri. Maaf tadi I'm out control...” Mentari mengangguk tanpa memberi jawaban.
“Aku keluar sebentar aja,” ucap saya dan mengecup keningnya cepat.
—