200
Tiga minggu sudah berlalu, sejak Mentari mengalami kesurupan hebat. Kondisinya membaik, meski terkadang wajahnya terlihat murung. Begitu banyak yang berkecamuk dalam dadanya, kemungkinan besar karena saya.
Itu sebabnya setiap pulang, saya memilih tidak mengajaknya bicara. Saya takut jika saya salah berkata, Mentari justru didatangi Mentari. Saya seperti ini untuk kebaikannya.
Malam ini saya sengaja minum bersama anak kantor supaya ketika pulang, saya bisa langsung tidur. Tapi nyatanya, Mentari menunggu saya di ruang tamu. Sambil menahan pusing yang begitu hebat, saya berusaha mengacuhkannya, namun Mentari mencegat.
“Mas, kamu nggak papa? Ke kamarnya sama aku, ya?” Lembut suaranya makin membuat saya benci terhadap diri sendiri.
“Gak perlu,” balas saya sengaja. Tetapi Mentari enggan berpindah, ia justru mengamit lengan saya dan menuntun ke kamar.
Saya berbaring di ranjang, sedang Mentari sibuk membukakan sepatu dan jas kerja yang saya kenakan hari itu. Wangi floral yang lembut khas Mentari yang menembus penciuman saya, membuat saya terbayang ketakutan yang sama dengan perempuan itu.
Apa saya siap meninggalkan semuanya? Apa saya sanggup melihat Aidan kehilangan kebahagiaannya?
Pertanyaan itu terus berputar dalam kepala hingga kadang-kadang saya merasa hancur karenanya.
“Sayang.” Dia telah menunaikan tugasnya sebagai istri dengan baik, tidak seperti saya the worst husband untuknya.
“Kamu udah gak mau ngobrol sama aku lagi ya? Bosen? Atau... kamu gak bisa terima kondisi aku?”
Bagian dimana ia bilang bahwa saya tak dapat menerima kondisinya adalah salah besar. Justru karena kondisi itulah yang membuat saya harus melepasnya. Dia begini kan karena kebodohan saya. Dia tidak salah, yang bajingan disini saya.
Saya hanya diam dan memilih untuk mendengarkan semua isi hati yang ia sampaikan.
”...Aku gak mau pisah sama kamu, Mas. Sebut aja aku bodoh, tapi aku udah cinta sama kamu...”
”...Mungkin kamu belum...bisa sepenuhnya bales perasaanku, tapi aku beneran gak mau kehilangan kamu.”
”...Nanti kalau aku di ruqyah, aku pergi sendiri aja ya? Gak usah ditemenin sama kamu, aku gak mau kamu liat keadaan aku kayak kemaren, kondisi aku lagi hancur. Aku bisa hadapin ini sendirian.”
Sesudah berucap demikian, Mentari terlelap. Giliran saya yang membalas semua ucapannya barusan.
“Saya temenin, Ri. Maaf kalau selama kamu menikah sama saya, saya selalu nangisin kamu, saya gak mau kamu gini terus. I want you to stay alive.”
Saya akhiri perkataan saya dengan memeluknya erat, mengecup bibir serta keningnya agak lama. Karena esok dan seterusnya, kisah kami hanya akan menjadi kenangan.