206
Tangis Aidan menyambut kedatangan saya dan memecah keheningan seluruh unit. Matanya sembab dan beberapa memar di bagian siku terlihat, karena anak itu membanting tubuhnya setiap sedang tantrum.
“Den Idan tadi pagi bangun langsung ke kamar Bapak dan Ibu, terus keluar-keluar nangis. Pas saya liat ke lemari pakaian Ibu, bajunya udah enggak ada semua, Pak...Abis itu, Den Idan nangis gak berhenti-berhenti,” tutur Erna pada saya. Bahkan ketika saya sampai di rumah tangis Aidan yang semula hanya senggukkan langsung berubah menjadi raungan.
“Dan, sini sama Papi, kita cari Mamah ya?”
“MAMAAAAAAAAAAAAAAAH!” Tangisnya pecah. Saya lantas menggendong Aidan, lalu bergegas mengambil kunci mobil.
—
Sudah satu kota Jakarta saya singgahi, namun Mentari tak kunjung saya temukan. Ponselnya mati, begitu juga dengan Chanting, sahabatnya. Setahu saya jika pergi diam-diam seperti ini, Mentari hanya akan pergi ke kos-kosan sahabatnya itu. Namun ketika saya tiba di sana, rumah sepetak Chanting kosong tak berpenghuni.
Saya terduduk lemas di dalam mobil, menatap Aidan yang terlelap dalam pandangan redup. Tangan saya terulur untuk mengelus rambut hitamnya.
“Maafin Papi, Aidan. Papi jahat sama Mamah kamu,” ucap saya pelan.
Saya terdiam sembari menatap jalanan kosong di depan, merenungi keputusan tak terduga yang Mentari sampaikan pada saya.
Saya memang sempat berpikiran untuk berpisah darinya beberapa hari yang lalu. Namun setelah saya pikir-pikir ulang, saya enggan melakukannya. Saya hanya ingin memberikan waktu pada Mentari agar ia dapat berpikir jernih dan fokus pada pemulihannya.
Tetapi ketika saya membalas segala ucapan Mentari di pesan Whatsapp, saya sadar bahwa kata-kata saya kembali menyakitinya. Saya berbohong padanya dengan bilang bahwa saya masih mencintai Kirana.
Saya hanya ingin menyampaikan betapa saya tidak pantas untuk menjadi suaminya, dan ingin memberikannya kesempatan untuk beristirahat dari kami berdua.
“Mamaaah...” Aidan terbangun dan rupanya ia masih mengingat Mentari yang tak kunjung kami temui seharian ini.
“Idan mau sama Mamah, Pi...” “Iya... Mamah belum ketemu, Dan. Kita cari besok lagi ya? Udah malem, Idan belum makan dari pagi. Mekdi mau?”
“Nanti Mamah marah kalo Idan makan mekdi terus,” katanya.
“Idan gak mau makan kalo Mamah belum di rumah,” rajuknya pada saya. Saya sontak menggaruk kepala. Aidan selalu seperti ini jika bukan Mentari yang menyuapnya.
“Makan dulu biar besok kuat cari Mamah, ya?” coba saya sekali lagi. Tapi hasilnya nihil, Aidan menggelengkan kepala.