210
“Papi...”
Aidan mengunjungi kamar saya setelah dua hari lamanya dia berada di rumah sakit. Kala itu tubuh saya memang sedang drop. Panas tinggi disertai gerd yang kambuh tiba-tiba.
Bukan saya nggak makan hari itu, namun karena jadwal saya begitu padat. Pertama, saya harus ke pengadilan sendirian dan menjalani sidang perceraian hanya dengan kuasa hukum Mentari. Saya sudah tak bertenaga karena sejak Mentari memutuskan berpisah, saya benar-benar tak punya nafsu makan. Waktu luang saya cuma diisi dengan merokok dan minum kopi. Saya merasa tenang setelah itu meski hanya sebentar. Setiap malam adalah saat-saat saya hancur. Saya menangis berhari-hari penuh penyesalan, menyembunyikan semuanya ketika Aidan sudah terlelap.
Hingga hari ini, anak itu datang ke kamar saya dan menemukan ayahnya sedang menangis sendirian.
“Papi... Mamah marah sama kita ya?” tanyanya polos. “Idan buat Mamah sedih ya? Tapi nilai Idan bagus, Papi, kenapa Mamah pergi?”
Saya berusaha menegakkan kepala lalu memandang Aidan. “Bukan Aidan yang salah. Papi yang jahat sama Mamah.”
“Papi jahat kenapa? Papi udah enggak pernah marah sama Mamah....kan?” Nada Aidan turun meragu.
“Aidan, kalau nanti udah besar gak boleh kayak Papi, ya? Harus jadi anak baik, jangan sakitin perempuan. Oke?” Saya mengajukan tos fist bump padanya.
“Iya, Papi. Tapi Mamah pasti pulang kan, Pi? Idan kangen sama Mamah...”
“Mamah... mungkin cuma bisa ditelepon aja, Dan. Mamah sibuk, kalau pulang ke sininya... Papi harus ngobrol lagi sama Mamah.”
“Tapi Papi—” “Sini, tidur sama Papi ya malam ini?”
Hebatnya, Aidan langsung setuju. Saya selalu ingat satu pesan dari Mentari tentang Aidan, yakni Aidan yang sebenarnya sangat baik dan penurut. Ngobrol dengan dia empat mata dan dari hati ke hati, serta menghabiskan waktu berdua dengannya adalah jalan terbaik agar Aidan tidak melawan.
Hari ini saya melakukannya. Saya meliburkan diri dari kantor, merehatkan pikiran dari pekerjaan juga masalah perceraian kami. Saya menghabiskan waktu berdua dengan Aidan. Kami ke Timezone, lalu makan ice cream berdua di toko gelato favorit Aidan dan Mentari.
“Idan mau makan es krim kesukaan Mamah,” katanya tadi.
“Mamah suka rasa apa emang?”
“Mamah suka rasa coklat kaya Idan. Kata Mamah rasanya manis-manis pahit kayak Papi, hihihi.”
Suapan saya terhenti tepat ketika Aidan tertawa kecil. Air mata saya nyaris terjatuh seiring pedih menjalar dalam hati. Mentari adalah orang yang jujur. Dia benar, saya adalah pahit untuknya. Saya tidak pernah menjadi penawar bagi rasa sakitnya. Bersama saya, Mentari selalu sesak dan sakit. Demikian juga dengan saya.
“Idan mau makan lagi?” “Mau, Mamah suka Bakerzin. Spaghetti-nya.”
“Emang Idan suka?” “Enggak, Pi. Tapi Mamah suka, Idan seneng liat Mamah seneng.”
“Kenapa gak makan yang Idan suka aja?”
“Kalo kita gak pernah coba rasa yang lain, kita ga akan pernah tau, Pi rasanya enak apa enggak... Kata Mamah.”
Saya mengacak rambut Aidan pelan dan lagi-lagi kagum terhadap mantan istri saya. Mentari memang punya cara yang unik dalam mendidik Aidan, yang selama ini saya coba jalankan tapi gak pernah berhasil. Their bond are more stronger than mine. Indeed, a mom and son.
— “Papi...” “Ya?”
“Idan gak mau minta Mamah baru lagi...Mamahnya Idan cuma satu.”
“Papi juga gak mau, Dan. Mamah Idan cuma satu, kok.”
“Papi...” “Ya?”
“Idan kangen Mamaaaaah.” Tangisnya luruh. Saya segera memeluknya erat, membiarkan pedih yang sedang saya rasakan sepertinya segera berakhir. Saya juga menangis, hanya saja saya tidak sampai banjir seperti Aidan.
“Papi...” “Ya, Dan?”
“Mamah gak akan pulang ke sini lagi?”
Saya hanya bisa terdiam dan mengeratkan peluk saya padanya.