217

“Akhire... dendamku terwujud!” Mentari melipat kedua tangannya di depan dada sambil tertawa menggelegar.

“Bayaranku!!! Endi bayaranku!!! Aku njaluk mangan!! Darahhh! Aku njaluk bayiiii, pitik ireng!!!”

Beberapa santri serta dua orang ustad yang salah satunya mengawal proses ruqyah Mentari berada di sekelilingnya. Dua santri perempuan memegangi tangan Mentari, sementara dua ustad yang lain membacakan ayat-ayat Al-Quran. Mendengarnya tubuh Mentari langsung menggelepar di tanah.

“OJO MOCO! Awakku kepanasen! Berenti rak kowe!!!!” Mentari merampas buku kecil berisikan ayat suci tersebut, dilemparnya sejauh mungkin. Lalu sekali lagi, Mentari tertawa. Namun tidak seperti tadi, kali ini ia cekikikan.

“Hihihi, kamu gak akan bisa mengusir aku dari tubuh perempuan ini! Hihihihi!”

“Sukmanya sudah aku canangkan di alamku! Dia tidak akan bisa balik ke badannya lagi!”

“Siapkan tahlilan untuk perempuan ini...” Usai berkata demikian, tubuh Mentari lunglai seketika. Dipegangi dua santri perempuan di belakangnya, Mentari sempat tenang dan melirik kanan-kiri.

“Dilawan, Mentari. Jangan diikutin, kalo kamunya ngizinin mereka masuk, bakal kayak gini terus. Dilawan, Ri. Kalo capek istirahat dulu...”

Mentari mengangguk lemah kemudian mengistirahatkan diri sebentar dengan meneguk air putih yang telah dibacakan doa. Namun selesai meneguk air tersebut, badannya kembali bereaksi. Seketika itu lantunan ayat sucipun mulai berkumandang, sementara Mentari menggeram dan menatap Pak Ustad penuh dendam.

“Jangan gagalkan rencanaku!!! Separuhnya sudah berhasil!” Mentari menghentakkan tangannya pada sebuah meja kayu hingga beberapa santri yang menahan tubuhnya terpental jauh. Sebagian dari mereka sampai terluka.

“Anak ini nggak ada salah sama kamu, ayahnya juga gak berbuat salah. Hentikan permainan kamu, Andini!” Ustad tersebut kemudian menempelkan ibu jarinya pada dahi Mentari hingga manik mata hitamnya naik ke atas. Semua santri yang menyaksikan perubahan itu sontak berteriak ketakutan. Bibir mereka bagai terkunci dan tak bisa membacakan ayat suci.

“Aku tidak akan membiarkan dia hidup! Dia akan mati di tanganku! Siapapun yang berani menghalangi jalanku menukarkan jiwa anak ini, akan kubunuh!!!!”

Teriakan histeris Mentari terdengar sampai ke teras rumah Pak Ustad ketika Jordy baru saja tiba. Diantar oleh Renjana, Jordy tak lupa mengucapkan terima kasih pada karyawannya itu.

“Thanks, Ren. Hati-hati baliknya.”

“Sama-sama, Pak Jordy.” Usai Renjana menjauh dari pandangan, Jordy segera masuk ke ruangan khusus tempat Mentari menjalani prosesi ruqyah. Ia duduk di belakang Mentari, memegang tubuhnya...yang lagi-lagi sama seperti pagi mencekam waktu itu. Berat sekali.

“Anak menantuku yang manis... ternyata sudah datang... mau mengantar jenazah anak pembawa sial ini ya? Gimana... kamu jauh lebih happy kan setelah bercerai dari anak ini?”

Jordy memilih acuh pada pertanyaan si iblis itu. Ia hanya fokus dan membaca ayat-ayat suci untuk kesembuhan Mentari. Lima detik pertama, Mentari sempat kondusif, namun tak berapa lama kemudian, Mentari justru tak sadarkan diri. Ustad yang bertugas menangani proses ruqyah itu bergegas mengecek detak jantung Mentari yang sempat tak terdeteksi.

“Gimana ini Pak Ustad?” tanya salah seorang santri lelaki. Sementara Jordy di belakang Mentari, tiada henti membisikkan ayat-ayat Al Quran sebisanya.

“Ri.. Riri, pulang. Pulang, Sayang. Pulang...” bisiknya terus menerus sambil mengusap kepala dan punggung tangan Mentari.

“Kamu ditunggu Aidan di rumah, Ma.”

Tak disangka ucapan Jordy yang terakhir ini berhasil memutus perangkap Andini. Tubuh Mentari yang semula terasa dingin dan kaku, lamat-lamat terasa hangat. Kedua pipinya kembali bersemu, dan helaan nafasnya pun berangsur normal. Mentari perlahan-lahan membuka matanya, mendapati Jordy sedang memeluk tubuhnya dari belakang.

“Ngapain kamu?” “Saya udah bilang saya mau dampingin kamu ruqyah.”

“Pergi.” “Ri...”

“Aku gak mau liat kamu!” bentak Mentari dengan linang air mata.

“Ri, saya cuma mau nemenin kamu–”

“Aku yang gak mau, Mas!” “Aku kan udah bilang, aku bisa kok ngadepin ini sendirian.”

“Jangan gitu, Ri.. Ini bentuk tanggung jawab say—”

“Kita udah cerai. Kalo mau kontakan, cuma boleh yang menyangkut Idan. Kayak gini ganggu privasi aku.”

Jordy terpaksa mengiyakan keinginan Mentari. Ia pergi tanpa pamit pada perempuan itu.