Jenan, The Sad Boy

“Hahahaha!” Tawa Jenan melambung saat air muka Mentari terlihat kesal. Diliriknya perempuan itu sesaat.

“Penyakit emang nih orang!” gerutu Mentari sebal.

“Tapi yang gue aneh, sama Kirana dulu, dia gak se-posesif ini. Santai aja dia waktu sama Kirana,” lelaki itu bertutur usai menenggak satu shot Jack Daniels.

”...Ya karena mereka ngerti kerjaan masing-masing, Mbak Kirana kan artis. Temen Bapak sutradara, sama-sama dari entertain. Ya udah biasa pasti,” sahut Mentari sesuai nalar.

“Bener, that's the most logical thought I've ever heard soal Jordy dan Kirana.”

”...Tapi Jordy, setau gue bukan tipikal yang se-eager itu kalo jealous. I mean, as a man, cemburu wajar kok. Gue aja jealous waktu Jordy nikahin lo,” ledek lelaki itu dengan tampang jahil.

“Pak, jangan macem-macem ya.”

“Hahahaha, galak amat, pantes aja lo berdua suami istri. Wong sama-sama galaknya.”

Mentari mendelik, “Serius gak, Pak? Mau saya panggilin satpam buat nge-kick Bapak dari sini?”

Mendengar ancaman Mentari, gelak tawa Jenan malah menjadi-jadi hingga para pengunjung yang hadir menoleh ke arahnya.

Tahu sendiri kan, tawa Jenan mirip seperti bapak-bapak berusia empat puluh tahunan yang selalu main catur sambil ngeronda.

“Iya, Ri. Ampun dah gue. Di Jakarta kena omel Jordy, di sini didamprat sama lo,” keluhnya pura-pura bersedih. Sementara Mentari masih sibuk berdecak kesal lantaran Bulik membocorkannya pada Jordy.

“Bulik juga sih, pake acara ngomong sama Jordy. Saya juga kena marah.”

“Lah, masih takut ae, kan udah bukan suami istri,” ujar Jenan ala-ala komentator. Lengkap dengan alisnya yang naik.

“Bukan takut sih, Pak. Lebih ke...nahan sabar aja sama tuh orang. Ribet banget.”

“Dia kayak gitu karena dia cinta sama lo, Ri. Trust me. Gue sama Teza udah lama temenan sama Jordy. Paham betul sama sifat dia yang takut kehilangan. Secara, dia pernah kehilangan Kirana, mungkin dia begitu karena gak mau lo pergi juga.”

Mentari tertawa pahit mendengar ucapan Jenan. Apa katanya? Takut kehilangan? Sepertinya Jenan ini tidak paham kalau yang Jordy takutkan bukanlah kehilangan Mentari, tapi kehilangan sosok ibu buat Aidan.

“Ri.” “Ya, Pak Jenan?”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya dari Mentari ke beberapa botol minuman yang terpajang. Sambil menyentil ujung rokoknya, Jenan kemudian menghela nafas.

“You did a great job.”

“Kenapa...?”

“You've made two men completely messed up at the same time,” kekeh Jenan pelan.

Mentari juga tak ingin dianggap seperti itu oleh Jenan dan Jordy. Baginya sepenggal kalimat itu lebih terdengar seperti sebuah kesalahan dibanding pujian. Karena Mentari lebih suka dua sahabat ini akur.

“Tapi sekarang harusnya Bapak dan Jordy baik-baik aja dong? Kan saya udah left out kehidupan kalian. Jangan ribut terus, Pak. Inget umur.”

“Lo kalo mau ngomong gitu ke mantan lo aja deh, jangan ke gue. Gue aslinya gak mau ribut sama dia, tapi dia bikin emosi mulu.”

“Iya emang!” “Katain aja sih Ri sekali-kali, orangnya juga di Jakarta. Cursing coba. Misalnya, 'Anjing lo Jordy!'”

Mentari menarik nafas dalam-dalam, mencoba menuruti saran Jenan dengan meluapkan unek-uneknya tentang Jordy. Namun alih-alih berhasil memaki mantan suaminya, ia justru menangis sesenggukkan.

Ia kira akan sebentar, tapi ternyata segala kekesalan yang bersarang di kepalanya tanpa disangka berakhir dalam waktu tiga jam.

Ya, Mentari membuang air matanya yang tak seberapa itu dalam waktu yang tidak sebentar.

Pertanda bahwa sampai saat ini, Jenan tidak pernah menang dari Jordy.