23
“Halo, Ri.” Lelaki yang dulu pernah menjadi teman baik-ku datang lagi. Senyumnya sama, cara bicaranya yang selalu bikin nyaman juga belum berubah. Ia berdiri di depanku dalam busana kasual, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya membuatnya terkesan seperti seorang dokter.
Kalau sekarang dengan gaya flamboyan itu, tak ada yang bisa menebak jika dia seorang psikiater.
“Uhm, Hai Ri. Long time no see.”
Aku tersenyum, “Hai.”
Kemudian Terry menarik salah satu kursi dan mulai mengajukan beberapa pertanyaan padaku, salah satunya tentang perlakuan Jordy setelah kami memutuskan kembali bersama.
“Mas Jordy baik,” jawabku apa adanya tanpa senyum.
Terry mengerutkan alis, “tapi ada yang buat lo marah gak sama dia, coba cerita sama gue?”
Pertanyaan itu cukup mengejutkanku. Kupikir Jordy sudah menganggapku waras tapi nyatanya di belakangku, dia masih berpikir aku adalah Riri yang dulu—Riri si orang gila
Aku memandang Jordy yang berdiri tepat di sebelah Terry sambil menggenggam tanganku, namun dengan cepat aku menepisnya. Kulihat dahinya berkerut bingung sebelum tatapannya jatuh padaku.
“Jadi gue dateng ke sini, ngejenguk sekalian ngobrol aja sih, Ri,” tandas Terry dengan senyum yang membuatku curiga.
Tafsiranku terbukti.
Dibalik kedatangannya, Jordy sudah merencanakannya dengan Terry.
“Tumben gak bawa alat-alat kayak dulu,” sarkasku tajam. Perubahan ekspresi tampak begitu kentara pada wajah Jordy. Ia terlihat tegang, ditambah
Terry langsung meliriknya kaget.
“Ma, tenang dulu. Terry ke sini cuma mau ngobrol aja kok.” Jordy menyapu pundakku.
“Ngobrol sama aku terus ujung-ujungnya dia bakal ngerujuk aku ke RSJ. Itu kan yang kamu mau, Mas?”
Emosiku entah kenapa langsung meledak di sana. Bayang betapa mengerikannya aku sendirian di ruang hampa dengan dinding putih, membuatku benar-benar cemas.
Ini bukan pertama kali Jordy membujukku, jadi tentu aku sangat hapal dengan modusnya.
“Ri, beneran deh. Gue personally mau deep talk aja, lo liat di tangan gue? Gak ada sama sekali surat rujukan ke rumah sakit. It's empty,” ujar Terry berusaha meyakinkanku.
“Oke,” sahutku cepat. “Aku mau ngobrol sama Mas Terry, berdua aja.”
Jordy tampak kecewa lantaran aku tak mengizinkannya menemaniku. Namun kurasa ini akan lebih baik, ketimbang dia harus mendengar apa yang sebenarnya sedang kualami.
Toh, Jordy mungkin tak akan peduli.