230

Dua subuh dan saya masih menunggu balasan Jenan tentang Mentari. Ponsel yang terletak di meja kerja sama sekali belum membunyikan denting notifikasi. Karena tak sabar, saya mencoba menghubungi Mentari.

“Glad that you pick up the phone.”

“Idan masih panas? Obatnya jangan sampe kelewat. Harusnya jam sembilan dia minum. Udah apa belum?”

“I told you to quit the job.”

“Saya nanya tentang Aidan, bukan tentang pekerjaan. Kalo mau bahas itu, mending kamu gak usah telepon.”

“Ri, can you turunin ego sedikit?”

“Ngaca.”

“Saya tau salah saya memang fatal sama kamu, tapi bukan berarti kamu cari pelarian yang gak ben—”

“Kamu kira aku perempuan apaan, Jor?”

“Ya makanya! Keluar dari kerjaan kamu yang sekarang.” Kepala saya mendidih.

“Emang gila kamu, Jor. Fuck you!” Mentari kembali memutus sambungan telepon saya.

Ya, saya se-fuck up bukan tanpa alasan yang jelas. Jika seandainya pekerjaan yang Mentari ambil normal dan layak, saya mungkin akan tenang-tenang saja. Tapi saat mendengar bahwa ia bekerja di sebuah bar, tentu pikiran saya akan mengarah pada tempat yang dipenuhi hawa nafsu. Saya paham, saat ini bukan ranah saya lagi untuk ikut campur, tapi saya tak mau Aidan kecewa pada Mentari. Sebab kami berdua sudah begitu menyakiti dia.

“Ri, please?” “Apalagi sih Jor? Apalagi yang mau kamu hancurin dari hidupku? Apa nggak cukup? Kamu mau babak belurin aku apa gimana?!”

Raungan Mentari di seberang sana membuat saya tenggelam dalam rasa bersalah. Seandainya saja kondisi tubuh saya fit, saya akan langsung terbang ke Yogya malam ini. Sayangnya tubuh saya juga berontak sama seperti Mentari.

“Ri, maaf... I'm messed up here. Saya kangen sama kamu. Jadi saya panik. Ditambah...”

“Kamu juga jangan gak minum obat. Ada di lemari. Aku selalu taro disitu, in case kamu drop,” Ia menurunkan nada bicaranya.

“Iya nanti saya minum.” “Sekarang.”

“Kita lagi teleponan.” “Gak punya tangan buat ngambil? Jangan manja!”

“Iya.” “Makan dulu. Ada bubur instan di kamar. Seduh sendiri, jangan bangunin orang malem-malem. Kebiasaan.”

Mentari dan omelan khasnya membuat keadaan saya membaik hari ini. Mendengarnya marah terasa jauh lebih baik ketimbang melihatnya melakukan aksi mogok ngomong. Kalau sudah gitu, berarti saya melakukan kesalahan besar.

“Temenin makan ya, Ri?” “Aku mau tidur. Matiin teleponnya.”

Saya mengaktifkan mode video call. Gak peduli Mentari akan marah lebih besar pada saya setelah ini, saya cuma ingin melihat wajahnya sesekali.