244
Bisa dibilang ini... adalah usaha paling maksimal yang saya lakukan untuk meluluhkan hati Mentari.
Mengajaknya berdamai, bukan hanya demi Aidan tapi karena saya benar-benar menyayanginya. Ketika ia datang, netranya memandang saya dingin, namun dibalik parasnya yang ayu itu, Mentari menyimpan begitu banyak pedih dan kecewa terhadap saya.
“Haaai, Mamaaah!” Aidan menyapa seperti dengan penuh keceriaan, sedangkan saya menetap di mobil karena tahu Mentari pasti enggan keluar apabila saya ikut mendampingi Aidan.
Ia berjalan menggandeng tangan Aidan sambil masuk ke mobil. Dan ketika masuk canggung segera menyelimuti kami.
Ia tak banyak bicara pada saya, dan hanya mengobrol Aidan.
“Idan makan yang banyak, Mamah tadi masak banyak buat Idan.”
“Kok Papi nggak dikasih, Mah?” Yang ditanya hanya diam dan menunjukkan raut wajah masam.
“Buat Idan aja, nanti Papi makan yang lain. Abisin, Dan. Mamah udah capek masak buat Idan.”
“Tapi Papi belum sarapan apa-apa dari tadi. Papi cuma minum kopi doang sama jus—”
“Dan, makan aja, kan Papi udah bilang kalo lagi makan gak boleh banyak ngom—”
“Papi minum jus apa, Aidan?” Mentari akhirnya angkat suara, nadanya tegas membuat saya dan Aidan sama-sama mati kutu di tempat.
“Jus anggur, Mamah.” “Jus apa?” ulang Mentari sambil menghujani saya dengan delikan maut.
“Ri, itu maksudnya Idan—” “Dan, Mamah boleh minta sedikit makanan Idan?”
Aidan mengangguk, memberikan kotak makannya pada Mentari. Ia mengaduk makanannya sesaat lalu menyendokkannya ke mulut saya.
“Ri, saya lagi nyetir—” “Kalo gak makan, gak usah jalan ke Bali, ya.”
“PAPI SIH!” Aidan merajuk di belakang. Mau nggak mau saya membuka mulut lalu menerima suapan dari Mentari. Meski wajahnya tanpa senyum, namun buat saya ini adalah kebahagiaan kecil yang telah lama saya nantikan.
Setidaknya, saya tahu Mentari masih peduli pada saya.
“Makasih ya, Ri,” ucap saya sambil menghabiskan suapan terakhir dari Mentari.
Ia hanya memberikan jawaban melalui anggukan kepala.
“Welcome back, Mamanya Aidan.” Saya meraih tangan Mentari, mencuri kesempatan untuk mencium jemarinya. Dia kaget, lantas menarik tangannya secepat mungkin.
“Mau telat ke bandaranya?” sinisnya dingin. “Iya, Sayang. Ini udah mau jalan.. Marah mulu nih, Dan si Mamah.” Saya membelai lembut rambutnya.