247
“Mukanya ga usah ditekuk gitu dong.” Kudengar Jordy bergumam saat kubuka pintu. Aidan tertidur dalam gendongannya dengan wajah yang begitu damai, bahkan ketika aku ingin menggendongnya, Aidan tetap bersikeras ingin didekapan ayahnya.
Ini pertanda bagus. Karena mungkin Allah memberi jawaban untukku dan tugasku sebagai ibu sambung Aidan harus selesai sampai di sini.
Sedihnya, aku mendapat jawaban itu tepat di hari ulang tahunku yang ke dua puluh enam. Sesak segera menyambut hangat relungku kala melihat Aidan sama sekali tak mau berpindah ke sisiku.
Seberapa besar pertengkaranku dengan Jordy, Aidan tetap menjadi alasan mengapa aku bersedia berlibur dengan Jordy. Kupikir, tak ada salahnya juga aku menyenangkan putraku.
Setidaknya di akhir pertemuan kami, Aidan sungguh merasakan betapa bahagianya memiliki keluarga yang utuh.
“Saya ke dalam dulu,” pamit Jordy usai ia meletakkan Aidan di kamarku. Ia lalu beranjak ke kamar sebelah yang lebih kecil.
Air muka lelaki itu masih seperti biasa. Sendu dan suram terpancar di sana. Dan bahkan... aku sempat merasa tubuh Jordy sedikit hangat, tidak seperti biasanya.
Apa dia sedang sakit? Tapi wajahnya sama sekali tidak terlihat pucat. Aku memutuskan untuk tak lagi memikirkan hal itu, dan fokus pada Aidan.
Aku lebih ingin menghabiskan waktu dengannya, sebelum nanti aku bertemu lagi saat ia beranjak remaja.