248
Sebenarnya sejak semalam, saya sudah merasa tidak enak badan. Namun karena hari ini adalah hari ulang tahun Mentari, saya bertahan—menenggak minuman berenergi agar saya bisa memberikan kejutan untuknya.
Saya harap, Mentari benar-benar memaafkan saya setelah ini, walau butuh waktu yang cukup lama, setidaknya hubungan kami tak lagi hambar dan dingin seperti saat baru bercerai.
Mungkin hari ini adalah ambang batasnya, tapi demi mengembalikan kepercayaan Mentari, lebih baik saya menyembunyikan hal ini dari dia.
“Happy birthday, Ma,” ucap saya dengan tatapan tulus, tapi alih-alih mendapat respon, saya justru menemukan sisa air mata di wajahnya yang sembab itu.
“You okay? Abis nangis?” Saya mendekati Mentari, namun ia menjauh. “Makasih kuenya. Buruan, mandi. Nanti telat ketemu Kak Jordan.”
“Ri, entar dulu. Jawab pertanyaan saya yang tadi,” cecar saya.
“Enggak. Udah deh, kamu kan orangnya paling anti telat. Mendingan sekarang mandi, ganti baju or apa deh, terserah kamu. Gak enak sama Kak Jordan sama istrinya.”
“Ri.” Nada saya sangat serius kali ini.
“Please?” Ia melepas genggaman saya. Dan perlakuan Mentari tersebut, untuk yang kesekian kali membuat saya merasa payah.
I mean... saya sudah mengerahkan berbagai cara untuk mendapat kepercayaannya lagi, tapi entah mengapa Mentari selalu menganggap sepele semua usaha saya.