249

“Mamah, Idan pengen bobo bertiga.” Aku cukup terkejut ketika Aidan mengatakan keinginannya. Selama dua hari di sini, Aidan selalu ingin tidur denganku, bak paham kalau ada sesuatu yang terjadi diantara aku dan Jordy. Tapi sebelum berangkat ke acara Jordan, Aidan berkata pelan seraya menatapku dengan pandangan memohon.

“Yah, Mah, yah?” Ia menggerakkan tanganku. Jordy yang sedang menyetir lantas melirikku dan Aidan.

“Dan, katanya udah gede, masa masih minta bobo bertiga?”

“Ya abis, Idan kangen dipeluk Papi Mamah kalo tidur di tengah. Bobo sendiri enggak enak, ga ada yang bacain buku cerita,” sahut Aidan sambil melipat tangan.

“Kan bacanya bisa kapan-kapan, Dan...” “Ya nanti Papi bacain deh.”

“Papi bacain ga seru, ga ada intonasinya. Muka Papi juga gitu-gitu aja, huh.”

“Mamah, besok abis nginep di rumah Putra, bobo bertiga ya, Maaah... Pleaseeeee...” Aidan kembali mengeluarkan jurus andalannya. Merengek dengan muka menggemaskan.

“Dan, jangan aneh-aneh deh, ya. Papi udah bilang berapa kali sama Aidan? Udah besar, udah mau kelas empat, harus berani tidur sendiri.” Usai mengomel, dari kaca spion, Jordy melirikku sesaat dengan daksanya yang seolah berkata Idan kayak gini karena kamu terlalu manjain dia

“Tapi, Idan maunya bobo bertiga!!!” Suara lantang Aidan membuat Jordy kembali menatapnya sengit. Tak usah lama menunggu, Aidan langsung mengadu padaku sambil terisak.

“Mamaaaaaaah! Papi, Maaaaah!” “Dan, udah.. udah... Jangan nangis. Nanti Mamah temenin bobo, ya? Mau baca buku apa hari ini?” bujukku padanya. Tapi yang namanya Jordy Hanandian dan segala kekukuhannya melarang Aidan tidur bersama, membuat anak ini kian menangis.

“Terusin ya, Idan. Terusin,” ancamnya. “Bisa nggak sih, kamu gak usah ngomong gitu ke anaknya?” Aku angkat bicara.

Ia tersenyum remeh kemudian menjawab, “biar dia belajar tentang situasi kita, Ri. Pelan-pelan dia mesti ngerti kalo kita udah gak sama-sama.”

Air mataku lantas terjatuh detik itu. Jordy membuatku dihujam rasa bersalah pada Aidan. Aku ngerti, aku paham akan maksud Jordy. Tapi haruskah ia membuat anaknya menangis saat sedang libur begini?

“Kamu minta saya jelasin. Ya ini, I do it my way.” Gantian aku yang meliriknya kesal. “Harus banget pas lagi liburan gini, Jor? Liat, Idan sampe sedih kayak gitu.”

“You said you want it, saya lakuin sekarang gantian kamu marah-marah sama saya.”

“Gak gitu caranya, Jordy...” “Terus? Kamu mau kita bohongin dia terus? Gak bisa gitu, Ri.”

Aku tak lagi menjawab debatannya karena terlalu lelah dengan semua pertahanan yang ia lakukan. Kami sama-sama diam setelah itu. Memang sejak pagi, mood Jordy entah mengapa sedang tidak baik, kecuali saat ia memberikan kue ulang tahun padaku. Sesudah itu, ia kembali menjadi Jordy yang kukenal di awal perkenalan kami.

Jordy yang dingin dan hobi marah. Aku tahu, sebagian besar mungkin karena aku yang berkali-kali menolak ajakannya untuk kembali. Dan mungkin juga, Jordy sedang ada di titik terendah dalam hidupnya. Antara ingin memberikan yang terbaik untuk Aidan, namun kita sama-sama gagal dalam hal itu.