250
Acara yang saya tunggu-tunggu, boleh dibilang berhasil hanya sembilan puluh persen, karena sesampainya di rumah Jordan, saya dan Mentari hanya berkemelut dengan pikiran masing-masing.
Ia langsung menyapa istri Jordan dan mengajak Putra, anak Jordan bermain bersama Aidan.
Sisanya kami berjauhan. Mungkin Mentari sengaja mengambil jarak dari saya pasca keributan kecil kami di mobil.
Kue yang saya pesan melalui Jordan sukses diberikan pada Mentari. Ia menerimanya dengan senyum tulus, entah itu untuk kuenya atau saya sebagai orang yang menghadiahkan kue itu padanya.
Yang jelas, di hari bahagia Mentari, setidaknya saya sedikit berhasil membuatnya tersenyum.
“Happy birthday, Mamaaaaah!” Aidan memeluk Mentari erat dan langsung disambutnya dengan pelukan yang sama.
“Makasih anak Mamah yang soleh, ganteng dan baik,” sahut Mentari seraya mengusap rambut legam Aidan. Satu per satu, mulai dari Jordan, istrinya dan Putra, menyalami Mentari, sementara saya berada di pojok ruangan sambil memerhatikan Mentari dari jauh.
“Ody! Sini lah, masa dipojokan?” Jordan memanggil tanpa tahu situasi. Saya pun maju perlahan, namun tak berani berdiri di sebelah Mentari, karena tahu kami masih sama-sama diliputi emosi.
“Foto bertiga dulu dong, Jordy, Idan sama Mentari,” usul istri Jordan yang telah siap dengan ponselnya.
“Nggak usah, biar Idan sama Riri aja—” “Papiii, ayo foto bareng, pleaseeeee.” Mendengar bujukan Aidan, saya segera memastikan pada Mentari melalui tatap mata dan syukurnya, ia mengangguk cepat dan langsung foto bersama.
“Idan mau potong kue, Mamah, terus suapin Mamah abis itu Papi suapin Mamah!” cetus Aidan tak ingin dibantah.
“Nggak usah, Dan. Kuenya Idan suapin ke Mamah aja, gak usah ke Papi,” tolak saya.
“Nggak mauuu, Papi harus suapin Mamah!” Jordan dan istrinya yang menatap Aidan, melirik saya, mengisyaratkan agar saya mau mengabulkan permintaan Aidan.
“Boleh?” tanya saya pada yang sedang bertambah usia. Ia memandang saya sesaat dan kembali memberi jawaban lewat anggukkan.
Lantas, ketika Mentari memberi lampu hijau, kue yang sudah Aidan potong, separuhnya saya suapkan pada Mentari. Jarak kami mendekat, dan saya tak mau melewatkan momen tersebut begitu saja.
“Happy birthday, Matahari,” bisik saya di telinganya. Dalam hitungan detik, saya mengecup puncak kepalanya, hingga Mentari tampak terkejut ketika saya berani melakukan hal itu. Namun syukurlah, Mentari tidak menghempas tangan saya lekas-lekas.
“Makasih, Mas Jordy.” Ia membalas dengan sangat cepat, tapi saya masih bisa mendengar dengan sangat jelas bahwa Mentari kembali memanggil saya dengan sebutan sayangnya. Setelah satu sebutan itu, senyum di wajah saya tiada henti merekah. Walau ke depannya, saya tidak tahu apa keputusan Mentari, tapi bagi saya hal ini adalah kemajuan yang baik.