252
“Bener ga liat apa-apa?” Belum ada sedetik Mentari duduk, saya langsung bertanya.
Bukan apa-apa, setelah mendengar penjelasan Jordan, saya langsung khawatir. Takut Mentari melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.
“Nggak ada,” jawabnya sambil menatap jalan raya.
“Kalo diajak ngomong tuh liat orangnya langsung, jangan liat jalan raya,” tegur saya tegas.
“Aku beneran gak liat apapun, kamu aja khawatiran,” jelasnya acuh.
“Kamu nutup-nutupin terus.” “Apa yang mau aku tutupin? Orang ga ada apa-apa di rumah Kak Jordan,” jawabnya tak mau kalah.
“Tapi seenggaknya kasih tau, jangan diem-diem aja, Ri.” “Kamu gak percayaan banget deh,” gerutunya sebal.
Mungkin benar...saya hanya terlalu mencemaskan Mentari. Karena semenjak kejadian mengerikan itu, saya jadi punya ketakutan sendiri mengenai Mentari yang sering mengalami gangguan.
“Kamu ga denger apa-apa juga?”
Ia lantas menggeleng, lalu fokus mengetik sesuatu di ponselnya. Apa dia sedang mengadu pada Jenan kalau sikap saya menyebalkan? Atau ke Renjana?
“Jenan? Renjana?” Ia langsung menoleh, menunjukkan ponselnya. “Chanting.”
“Dia bilang apa sama kamu? Komennya di IG saya bikin followers rusuh. Lain kali bilang sama temen kamu, gak usah ikut campur urusan kita.”
“Aku barusan minta dia take down komennya di IG kamu. Aku tau dia kalo bercanda emang agak nyeleneh. Sebelum kamu makin marah, dia udah take down duluan, ga sampe sedetik.”
Saya geleng kepala heran. “Temen dari mana sih dia itu? Celamitan banget.”
“Bahkan sampe temenan sama siapa, kamu harus urus juga?” decihnya sarkas.
“Ya bukan gitu maksud saya, tapi seenggaknya kamu kalo cari temen tuh yang baik.” “Dia baik banget. Kalau nggak ada dia, mungkin kamu gak akan liat aku sekarang.”
“Maksud kamu ngomong gitu apa ya?” “Kalo ga ada Chanting, bisa-bisa kamu ketemu aku di kuburan.”
Rahang saya mengeras seketika. Sengaja saya hentikan mobil di pinggir jalan untuk mengajaknya bicara empat mata.
“Sengaja ngomong kayak gitu?” sengit saya. “Apa sih—”
“JAWAB!” Untuk kali ini, saya benar-benar lepas kendali.
Nada saya meninggi dengan sendirinya, dan begitu intonasi saya naik, Mentari langsung menangis gemetar. I could loss her again, but this time...She's just too much.
“Aku cuma gak mau kamu ngatur sampe sebegininya, Jordy. Aku temenan sama siapa aja, harus kamu bilang kayak gitu? Dan emang bener.. setelah pisah dari kamu dan aku di ruqyah, cuma Chanting sama Renjana yang dampingin aku. Chanting bahkan sampe libur jaga warung tantenya buat nemenin aku ruqyah. Kalo ga ada dia, aku gak bakal sanggup lagi. Sakit, capek, jadi satu. Terus kamu...”
”...Kamu bisa-bisanya bilang dia nggak baik? Apa karena temen-temenku ga sekelas sama circle kamu? Aku harus nyesuaiin diri kayak gimana lagi?!” isaknya tersedu-sedu.
Racauannya membuat saya kembali terperosok dalam lubang kesalahan. Maksud saya menegurnya, karena kesal dengan jawaban yang ia lontarkan, dan sama sekali bukan mau menghina Chanting, sahabatnya.
“Ri, I'm sorry, okay? I'm really sorry. I'm sorry, Sayang. Maaf...” Saya melepas seatbelt dan mencoba untuk memeluknya, namun ia mendorong tubuh saya sekuat tenaganya.
“Ri...saya cuma gak mau kamu ngomong kayak tadi. Saya gak suka jawaban kamu. Kamu kan tau saya juga ada trauma sama kehilangan, you should know that.”
Ia tak memberi jawaban apapun, dan hanya terus mengusap air mata yang berjatuhan. Sementara saya cuma bisa merutuki kebodohan yang lagi-lagi saya lakukan di hari ulang tahunnya.