253

“Kok muka kamu merah gitu ya?” Keluar dari kamar, kulihat wajah dan telinga Jordy memerah tanpa sebab. Apa mungkin dia ada alergi terhadap sesuatu?

“Nggak apa-apa, tadi di dalem belum nyalain AC. Tau sendiri kan, Bali.”

Alasannya memang cukup bisa kuterima dengan akal sehat, namun entah mengapa aku merasa Jordy sedang menutupi sesuatu, karena aroma nafas yang tercium olehku tidak sesuai dengan alasan yang ia sampaikan.

“Jangan bilang kamu nge-wine ya di kamar,” tudingku saking hapal dengan kebiasaannya.

Ia mengelak, dan langsung menyantap makanannya, tanpa cuci tangan, membuatku tak tahan diri dan segera menarik tangannya dari makanan di meja.

“Tangan kamu kok panas gini?” “Panas gimana?”

“Kamu demam?” Ia hanya menatapku sesaat tanpa menjawab pertanyaanku. “Jor, aku nanya. Kamu sakit?”

“Enggak, cuma capek aja.” Cuma capek aja, menurutku adalah jawaban tersirat yang ingin Jordy katakan padaku. Ia pasti sedang sakit, namun tak berani bilang padaku dengan alasan yang bisa kubilang cukup cliche—tidak ingin mengacaukan hari ulang tahunku.

Tapi kalau kondisinya begini, Jordy bukannya mengacaukan hari bahagiaku, namun membuatku kembali dihujami rasa bersalah karena memforsirnya terlalu jauh.

“Makan di kamar aja kalo gitu,” kataku.

“Kok di kamar? Ngapain? Di sini aja.”

“Aku mau ngukur suhu tubuh kamu, ini kamu demam. Masa gak berasa? Atau emang kamu pura-pura nggak tau?” tandasku tanpa ampun.

“Ke kamar dulu, nanti aku ambilin makanannya. Laptop tinggal di sini, biar aku beresin.”

“Nggak usahlah, ngapain sih kamu beres-beresin ginian? Biar saya bawa aja ke kamar sendiri,” kekeuhnya. Terserah deh ya, jika dia protes besar-besaran tentang aku yang keras kepala, apa dia nggak ngaca? Dia jauh lebih keras kepala dibanding aku. Sudah sakit, masih memaksa diri.

“Terserah kamu aja deh enaknya gimana. Sekarang ke kamar dulu, istirahat. Gak usah mainan laptop atau buka kerjaan.”

Ia mengangguk sambil berjalan ke kamar...ku?

“Kamar kamu di depan, jangan di kamarku—”

Slap! Jordy memang akan selalu menjadi Jordy yang bertindak sesuka hati dan hobi menguras emosiku. Ia dengan santainya masuk ke kamar, tanpa izin.

Sayangnya aku sudah tak punya tenaga lagi untuk beradu mulut dengannya setelah sehari penuh dia cari perkara.