254
Firasatku benar. Jordy tiba-tiba demam hingga suhu tubuhnya naik hingga 38,2. Kurasa ia telah menahannya dari lama, dan akhirnya tumbang karena terus diforsir.
Hancur hatiku kala harus melihat Jordy berbaring lemah di ranjang.
Sebab, ini pertama kali aku Jordy yang yang jarang sakit itu terkapar lemah begitu saja. Apalagi ia cukup menjaga makanannya.
“Jangan kemana-mana...” lirihnya sambil terus menggengam tanganku.
“Aku mau bikin bubur dulu, Mas.Nanti aku kesini lagi.”
Ia menggeleng, memberi isyarat agar aku tetap berada di sebelahnya. “Bentar doang, kamu kan harus minum obat.”
“Sebentar doang?” “Iya, Mas Jordy.” “Kamu... nggak akan diem-diem pergi ke Jogja kan?”
Astaga, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sama yang Aidan lontarkan padaku saat ia berada di rumah Bulik.
“Nggak, Mas Jordy.” Aku mengusap dahinya agar dia lebih tenang. “Sebentar ya..”
“Ri...” “Apalagi, aku pergi cuma bentar—”
“Maafin saya...” tangisnya tiba-tiba pecah. “Maafin... saya salah sama kamu..”
Aku menghela nafas pelan, sadar bahwa mungkin ada sikapku yang salah kepada Jordy hingga membuatnya drop seperti ini.
“Aku udah maafin kamu, Mas Jordy.” “So we can be back together?” tanyanya dengan wajah penuh harap.
“Nggak bisa, Mas. Kita lebih baik begini, gak saling nyakitin.” Aku melepas genggamannya.
“I love you so much, Ri... Please...” mohonnya seraya mengecup seluruh tangan hingga telapakku.
“Mas Jordy.” Aku memeluknya erat. “Kamu istirahat aja dulu ya, gak usah mikir yang lain-lain. Aku masakin sebentar.”
“Pesen aja. Saya maunya kamu disini. Gak tau kapan lagi bisa kayak gini, ya, Ri, ya?” lirihnya.
“Ya udah, aku pesenin dulu. Tapi harus dihabisin, gak boleh sisa makanannya.”
“Suapin kayak waktu mau berangkat ke Bali,” pintanya masih dengan nada memohon. Sungguh persis seperti Aidan jika sedang sakit. Kalau kujawab, dia sudah bangkotan dengan kondisinya yang menyedihkan ini... bisa-bisa aku kena marah lagi. Jadi, biarlah sesekali ia bersikap seperti anaknya.
Asal jangan keterusan, kalau suatu saat Jordy memutuskan menikah lagi...Belum tentu pacar barunya bersedia menyuapinya.
“Suapin...” Genggam Jordy pada tanganku.
“hhhhhhh, iya—”
Jordy tersenyum lebar, mengelus puncak kepalaku dengan tangan satunya.