259
“Kenapa sih hobi banget gak pake baju?”
Bangun-bangun, bukannya disambut kecup, malah kena omel. Belum ada separuhnya jiwa ini berkumpul, daksa Mentari melirik saya curiga, seakan saya habis melakukan sesuatu diluar pernikahan.
“Gerah.” Satu jawaban singkat saya lontarkan, berharap amarah perempuan itu surut, namun sepertinya saya salah. Dia justru berdecak setelahnya.
“Pake baju, ntar demam lagi, aku gak mau ngurus!” Nadanya agak naik kali ini.
Saya paham dia marah begitu karena kesalahan saya sendiri, tapi entah mengapa mendengarnya mengomel justru membuat saya lega. Setidaknya saya tahu dia masih peduli terhadap saya.
“Iya, Babe.”
Matanya langsung mendelik pada saya yang beranjak dari kasur dan memakai kaus yang semalam terdampar di pojok meja kerja. Usai menuruti keinginan ibu negara, saya lantas bergabung kembali bersamanya.
Mata Mentari makin sembab setelah semalaman ia meluapkan segala perasaannya tentang saya.
Kami memang mantan pasangan yang sering cekcok sana-sini dan boleh dibilang jarang deep talk, maka sesekali saya manfaatkan momen kemarin untuk bicara empat mata dengannya.
Tentang Aidan ke depannya, dan bagaimana kami mengurus dia usai perceraian ini. Nampaknya untuk kembali bersama, Mentari masih mempertimbangkan. Dia bilang takut gagal lagi sama saya karena masalah yang kami lalui bukan hanya sekedar ketidak-cocokan, tapi juga hal lain yakni masa pemulihannya usai ruqyah.
“Katanya kamu benci saya sama saya,” ujar saya saat Mentari mulai tenang.
”...then proof it to me, biar saya ga kepikiran lagi.”
Ia memandang saya sejenak, tatapannya yang semula terlihat kesal, perlahan berubah sendu.
Helaan nafas melambung dari bibirnya. “...Kamu jahat.”
Saya hanya diam, memberinya kesempatan untuk mengeluarkan segala rasa sakitnya. “...Kamu egois, kamu gak sayang sama aku, kamu ngecewain aku, kamu—”
Air matanya perlahan mengalir. “Kamu gak pernah mau dengerin apa kata aku! Makanya sakit kan sekarang!”
“Ya udah sini, sekalian tampar, biar lega.”
“Nggak mau,” ia melepas genggaman tangan saya. “Nanti kamu kesakitan, sakit gak tadi aku pukulin? Maaf ya...”
“Nah. Saya pantes dapet hukuman dari kalian berdua, for not being responsible as a husband and father. Aidan waktu tau kamu gak ada di rumah, nggak mau ajak saya bicara. Dia mirip banget sama kamu, dibelikan barang gak mau, makanan kesukaannya aja gak di makan...”
”...And since his magnet was gone, dia jadi nakal lagi...”
Sebenarnya banyak yang saya lalui dengan Aidan sejak Mentari tak ada di rumah, namun saya memilih untuk tidak menceritakan sebagiannya lagi...Karena saya tak mau ia makin sakit hati mendengarnya.
“I'm so sorry. You know I was the worst husband ever, from the start.”
“Nggak, Mas Jordy... Aku juga ada salah sama kamu. Aku lagi-lagi lari dari masalah, aku takut kamu gak mau lagi sama aku, jadi daripada aku denger hal-hal yang kayak gitu, lebih baik aku pergi.”
”...And turns out malah makin gede masalahnya.”
Ia mengangguk setuju. Pandangannya kali ini akhirnya terangkat pada saya, dalam... dan dipenuhi rasa bersalah.
“Aku juga minta maaf karena gagal jadi istri yang baik buat kamu—”
“No, Babe. You never failed, saya yang bikin kamu merasa fail. No, promise me to never say that again. Gak suka dengernya...” Saya mendekat, mengecup kening dan bibirnya lembut.
Ia tertawa kecil setelahnya, “Kok kita jadi main salah-salahan gini, sih?”
“Ya artinya kita berdua salah,” simpul saya yang disambutnya dengan anggukkan kecil.
“Sini peluk dulu.” Saya merapatkan posisi ke sebelahnya, sekalian mengingat salah satu kebiasaannya di awal pernikahan kami, suka gak suka dia selalu memaksa saya untuk menerima peluknya.
“You're gonna be a great husband someday... buat yang lain.”
“Gak mau,” saya nenjawab spontan. “Saya cuma mau sama kamu, gak mau sama yang lain. Idan juga gitu. Malu nanti dia kalo besar, punya Bapak tukang kawin.”
Dia tertawa jahil, “jaga image banget?”
“Bukan gitu, Ri. Saya gak mau sama yang lain pokoknya. Maunya cuma kamu.”
—