274
“Ri!” Aliran darah saya terasa berhenti saat menemukan Mentari terkapar di lantai, memegangi perutnya. Ia menangis sesenggukkan, termasuk Aidan yang bersembunyi di belakang saya.
“Mas... sakit banget perut aku,” rintihnya. “Tolong...” Ia terus merintih sambil meremas perutnya. Kondisi itu spontan mengingatkan saya pada saat Mentari keguguran. Kejadian yang sama dan tentu sangat traumatis bagi kami berdua. Tanpa pikir panjang saya memindahkan tubuh Mentari ke pangkuan saya sendiri, dan dengan tergesa saya menelepon Bulik Ratih.
“Assalamualaikum Bulik,” sapa saya terburu-buru.
“Saya tau, Jordy. Saya juga sedang berbicara dengan sosok itu, tolong jaga Mentari sebisa kamu, supaya jangan sampe dia bisa menguasai Mentari.”
“Iya, Bulik. Makasih—”
“Nggon, wis tak enteni. Wedho kui... wedho kui...mesti kalah karo aku, hahaha.” Sebelum sempat saya menjalani amanah Bulik Ratih, sosok itu justru telah menguasai tubuhnya, Aidan menangis ketakutan, sementara saya terpaksa menenangkannya. Sambil terus menelepon Bulik Ratih, Mentari tertawa cekikikan tanpa sebab.
Satu-satunya yang bisa saya lakukan saat itu adalah membaca surat Al-Fatihah berkali-kali—yang sialnya—ditertawai oleh sosok itu.
“Jangan putus, hiraukan saja, Jor. Fokus.” Dari sambungan telepon Bulik bertitah.
“SAAAAKKIIIT!” Mentari kembali mengaungkan suaranya, dan tak cuma itu, penjaga villa saya, Bli Ketut sampai datang karena panik.
“Kenapa ini, Mas?” tanyanya dengan logat Bali yang amat kental. Namun tak lama, Bli Ketut terdiam beberapa saat, air mukanya yang barusan terlihat bingung berubah menjadi serius. Ia sama sekali tidak takut, dan justru mendekati Mentari.
Kemudian ia meminta izin pada saya untuk memegang tangan Mentari. Saya menganggukkan kepala, karena satu-satunya yang dapat menolong saya saat ini hanya Beliau.
Lima detik berselang, Bli Ketut dan Bulik Ratih saling berbicara via telepon. Dan usai percakapan mereka selesai, Bli Ketut kembali pada Mentari yang tiba-tiba saja menggeram. Ia menatap Mentari yang masih mendelik ke arahnya dalam Bahasa Bali.
Ajaibnya, sosok itu benar-benar tunduk di tangan Bli Ketut. Menurut Beliau, sosok ini bukanlah sosok yang sama dengan yang selalu mengganggu Mentari. Bli Ketut bilang sosok yang masuk ke dalam tubuh Mentari ini berwujud leak karena dukun yang dipakai Andini begitu sakti.
Saya lemas mendengarnya, sebab hal ini selalu menjadi perkara yang membuat Mentari ragu dan takut untuk kembali pada saya.
“Ibu Mentari ini peka orangnya. Saya dengar dari Bibi Ibu, Ibu lahir di hari yang sangat sakral. Manis darahnya, itulah mengapa mereka mendekat. Selain itu...” Bli Ketut menghela nafas sejenak. “Ada yang selalu berupaya mengganggu Ibu ya, Pak?”
“Betul, Bli.” “Jahat sekali ya orang itu. Tapi tenang, biar saya bersihkan sekali lagi.” Ia kemudian meminta salah satu asistennya untuk menemani Aidan sebentar. Lalu setelah itu, kami bertiga pun kembali ke villa.
“Dengan perlindungan ini, kondisi rahim Ibu akan pulih seperti sedia kala. Saya juga sudah memproteksi Ibu. Jadi Ibu dan Bapak boleh kembali ke Jakarta besok pagi dengan aman.”
Saya lega mendengarnya. Apalagi Mentari, yang begitu nelangsa saat teror dari Andini mulai menghantuinya lagi. Ia menangis usai Bli Ketut meninggalkan villa kami.
“Mas...” “Udah, jangan ngomong apa-apa dulu, Ri. Istirahat.”
“Denger dulu,” selanya. “Saya nggak mau denger kamu ngomong kayak tadi.”
“Mas, tapi kamu tau kondisiku. Aku makasih banget kamu sayang dan cinta tulus ke aku, tapi aku gak tega kalo kamu harus back and forth kayak gini...”
”...Kamu cari perempuan lain aja. Please, jangan sama aku.”
“Ri, saya serius,” bantah saya tegas. “Saya nggak akan mau sama siapapun. Kamu harus ngerti itu baik-baik.”
Ia terdiam dengan tampang penuh rasa bersalah.
“Mas, peluk...” Ia menyelipkan tangannya sendiri ke sela-sela lengan saya. Aroma cendana yang begitu menenangkan tercium mengelilingi saya. The scent of her yang selalu saya rindukan.
“Makasih banyak, Papi Sayang.” “I love you. Please kindly write that on your head.”
Dia tersenyum kecil, lalu mengecup bibir saya singkat.
“Yah kan, mancing,” kekeh saya jahil. “Diem.” Wajahnya merengut
“Lagi dong,” bujuk saya sambil tertawa-tawa. “Diem atau aku pukul dadanya.”
“Udah chest day kemaren sama Jordan, its safe.”
One kiss wouldn't be wrong, right?
“Udah. Gak usah nagih lagi!” “Tapi masih kurang.”
“Mas, aku pukul beneran ya. Aku masih lemes banget lho ini.”
“Hahaha, kidding, Babe.”