276
“Mamah, Idan mau bobo.” Aidan terlihat sibuk melepas safety-belt yang terkait di pinggangnya, lalu berpindah ke pangkuan Mentari.
“Dan, ini kursinya kan bisa dipanjangin. Bobo di sini aja, biar ga pegel kakinya.” Saya menimpali. Namun sepertinya Aidan begitu merindukan Mentari sampai tak rela berpisah sedikitpun dari ibunya. Anak itu membenamkan wajahnya pada Mentari, dan tak lama setelahnya dengkuran halus terdengar.
“Udah tidur dia, Mas. Capek banget kayaknya,” sahut Mentari, mengintip Aidan yang makin lelap dalam tidurnya.
“Dia cepet banget tidurnya kalo dipeluk kamu.” Saya mengusap punggung Aidan pelan, lalu beralih menatap Mentari.
“Kamu tidur juga gih, ini kakinya bisa diselonjorin kok. Jadi gak pegel walopun Idan tidurnya gitu.”
“Belum ngantuk, Pi. Aku tadi nyipin kopi kamu dikit, meleknya sampe sekarang. Padahal segini doang,” katanya.
“Ma, itu double shot,” beber saya enteng. Begitu tau fakta tersebut, daksa Mentari melebar.
“Kamu gak bilang...”
“Kan saya nggak tau kamu nyobain, Idan tadi minta ditemenin ambil makanan.”
“Hehe, Papi did a good job!” “Maksudnya good job?”
“Selama aku ga di rumah, kamu ngurus Idan sendiri... Idan juga nyaman banget sama kamu sekarang,” ujarnya sembari mengusap pipi saya.
“Thanks to you. Tapi jangan ada adegan balik Jogja part yang ke sekian ya.”
Tawanya meluap, mensinyalir rasa hangat untuk saya yang jarang sekali melihatnya tersenyum usai sekian lama kami terpisah.
“Nggak adaaa,” jawabnya penuh keyakinan. “Soalnya nggak ada yang sekuat kamu kalo aku kayak kemaren lagi.”
“Kalo yang itu... ada Bulik yang back-up,” jawab saya spontan.
“Tapi kamu nggak takut?” “Enggak sih, lebih ke panik aja nginget pertama kali baru ngeh kalo kamu kayak gitu dari sananya.”
“Hehehe, maaf deh kalo gitu.” “You don't have to.” Saya mengecup keningnya singkat.
“I love you,” bisik saya tepat di telinganya, dan secara tak terduga, Mentari memalingkan wajahnya lalu mencium bibir saya cepat
“Gak usah mancing...” Yang mengecup saya barusan hanya mengekeh dengan muka jahil, kemudian menggulirkan pandangannya ke sekat-sekat tempat duduk kami.
“Ini kan alesan kamu upgrade ke first class?”
“Now you know,” sahut saya sambil menowel pangkal hidungnya.