287

“Dan, udahan nangisnya...” bujukku begitu Aidan berbaring di sebelah. Beberapa kali ia menarik cairan di hidungnya, pipi gembulnya membulat, matanya sembab. Kalau sudah begini, pasti Jordy buat ulah. Anak itu mendekatkan diri padaku sambil memainkan jari-jariku. “Mamah, jangan pergi berdua Papi, nanti Mamah enggak kesini lagi. Nanti Mamah pulang ke Yogya, terus nggak bobo sama Idan,” isaknya pilu.

Astaga... Jadi ini sumber masalahnya. Aidan mengira aku akan dipulangkan ke Yogya. Saat itu kupikir perginya aku dari rumah tidak akan berimbas apapun pada anak sekecil Aidan. Namun rupanya perceraian kami benar-benar melukai hatinya. Sebab sudah hampir lima menit Aidan menangis, menceritakan bagaimana pedihnya ia saat aku berbulan-bulan di Yogya.

“Mamah, huhuhu.” Aku mengusap rambut hitamnya sejenak, “sini sama Mamah,” kataku sambil memeluknya.

Ia mengangguk. “Mamah gak boleh pergi sama Papi, nanti Papi nggak jemput Mamah lagi!”

“Mamah cuma sebentar doang dan enggak pergi ke Yogya. Mamah sama Papi ada urusan sebentar, harus temenin Papi kerja.”

Tangisnya berangsur-angsur mereda. Perlahan Aidan memandangku, “Mamah nanti pulang ke rumah? Mamah nanti bobo disini sama Idan? Di rumah sini lagi? Iya?”

Aku mengangguk. “Iya ini kan rumah Mamah, Papi sama Idan. Kalau gak kesini, Mamah mau tidur di mana dong?” Gantian aku yang melengkungkan bibir ke bawah.

Aidan mengangguk paham dengan cengiran lebar. “Jadi Mamah enggak pergi lama-lama kan?”

“Iya.” “Cuma sebentar doang kan?” Ia memastikannya lagi. Alah, insecure-an amat, haha.

“Iya, Sayang.” “Kalo gitu Mamah boleh pergi sama Papi!” “Oke, makasih ya, Nak. Tapi Idan denger Mba Erna di rumah ya. Nanti weekend main ke rumah Oma, Putra ke Jakarta.”

“Asiiiik! Idan boleh main game berapa lama, Mah?”

“Satu jam tiga puluh menit.” “Oke!” Ia menyahut penuh semangat. “Dan, satu lagi.”

“Apa, Mah?” “Masih ngambek sama Papi nggak? Kasian Papi kan pulang kerja, mau istirahat, kangen sama Idan.”

“Hmm...” Aidan mengetukkan telunjuknya di bibir. “Sebenernya Idan udah enggak marah, cuma Idan takut Papi bohongin Idan. Jadi tadi Idan nangis terus ngambek sama Papi.”

“Berarti sekarang, Papi udah boleh bobo disini?” Aidan mengangguk, “Tapi Papi bobonya di sebelah sini, nanti Idan kejepit kalo Papi ditengah. Soalnya Papi kaya beruang, badannya gede.”

“Heeeey, gak boleh gitu Idan.” Aku tak dapat menahan tawa kala Aidan meledek Jordy. Tapi ternyata suamiku mendengar pembicaraan kami. ia berdiri di ambang kasur, lalu membanting tubuhnya di sebelah Aidan kemudian menggelitik perutnya sampai anak itu terpingkal-pingkal.

“Mana yang tadi ngambek sama Papiiiii? Mana anaknya? Mau Papi hap hap hap!” canda Jordy sambil membunyikan perut Aidan. Aku di sebelah mereka tertawa kecil sekaligus menahan haru menyaksikan Jordy si kaku ternyata bisa berubah menjadi sosok ayah yang hangat nan penyayang seperti ini.

“Maaaah, Papiii Maah,” adu Aidan padaku.

“Stop, Mas Jordy, nanti Idan muntah.” Aku mengingatkan.