290
“Kenapa sih? Kan bagus buat kesehatan.” Mentari membuka percakapan kami dengan dumelan. Netranya memandang saya dingin, serta bibirnya mengerucut.
Ya karena siang itu, saya langsung membopongnya turun dari lintasan treadmill. Alasannya pun cukup jelas, tapi Mentari belum ngerti-ngerti.
“Kamu liat nih, Mas, aku buncit banget,” katanya sembari mengusap perut.
“Ya nggak papa, lucu kayak panda,” daksanya langsung membelalak, kemudian menurun dari atas kepala hingga kaki.
“Kamu mau aku jadi bahan ketawaan orang-orang? Kamunya kece gini, terus aku gak boleh glow up?” Nadanya sedikit meninggi. Aduh, meski mimik muka Mentari terlihat menggemaskan, tapi saya tidak suka dengan penilaiannya. Dan yang sampai sekarang membuat saya heran, masa sih dia nggak paham kalau sedang berbadan dua?
“Kita ke dokter aja,” putus saya tiba-tiba.
“Dokter gizi?” “Dokter cinta!” sarkas saya dengan wajah datar.
“Yang bener ih, Mas Jordy!” “Lagian kamu, pake nanya-nanya.”
“Ya terus mau ke dokter mana.” “Kandungan.”
Mendengar jawaban saya, kopi di tangannya langsung tumpah di meja.
“Mas...” Tatapan Mentari tampak pedih. “Aku...” “Belum dicoba kan, Ma? Emosi kamu udah beberapa minggu ini naik turun, ditambah kamu nggak dapet hampir 4 mingguan.”
“Mungkin aku kecapekan, Mas.” Ia mengilah. Saya tahu jawaban itu terlontar karena dia masih dilingkupi trauma pasca kehilangan anak kami dulu.
“Nggak, Ri. Kita ke dokter aja ya?” bujuk saya lembut.
“Kalo hasilnya negatif kamu nanti kecewa lho, Mas. Aku juga gak mau Idan sedih...”
“Kalo misalnya negatif, ya berarti belum rejeki. Masalah Idan, gak usah khawatir. Sepengen-pengennya dia punya adek, kalo belum ada juga dia malah seneng, kali. Kamu kayak gak tau Idan aja.”
Ia terdiam beberapa saat masih dalam tatap sendu yang sama.
“Babe...” Saya mendekat, memeluknya sebentar. Dan tebak, dari mana saya begitu yakin bahwa dia memang sedang mengandung?
“Tuh kan Mas... aku jadi nangis...” isaknya.
“Ya siapa tau kamu nangis bahagia nanti pas di dokter. Udah sana, ganti baju. Aku tunggu di mobil ya, Ma.”
—