293

“Mamaaaaah....” Senggukkan kecil Aidan menemani langkahnya menuju kasurku. Kalau sudah begini, jatah Papi-nya habis, sih. Karena Aidan pasti akan menyelip dan tidur di tengah bersama kami.

“Kenapa nangis, Sayangnya Mamah?” sapaku sembari membelai surai hitamnya.

“Adek bikin Mamah sakit,” adunya. Aku dan Jordy kompak saling melirik dengan pandangan pasrah.

“Adek gak bikin Mamah sakit, Nak...”

“Tapi Mamah tadi muntah-muntah,” katanya sambil mendusal di bahuku. Kutatap raut wajah sedihnya, kemudian kupeluk erat agar dia merasa tenang.

“Mamah tadi telat makan, bukan karena Adek, Dan...” Ia kembali mengangkat pandangan, “Oh... gitu. Tapi Mamah tadi sampe pusing terus gak bisa bacain Idan story book.”

“Mamah lagi capek aja, Dan. Sekarang Mamah udah sehat kok, udah strong lagi!” Kali ini manusia tinggi besar di belakangku bersuara. Namun bukan hanya mulutnya yang bergerak, tapi juga tangannya yang menjalar, mengelus perutku.

Dan, seperti biasa Aidan tidak segan menegur ayahnya jika aku sedang tidak enak badan. Ia menggeser pelan tangan Jordy dari perutku. “Jangan Papiiiii! Tangan Papi gede kaya armagedon! Nanti Adik Idan kenapa-napa, Papiiiiiii!”

Jordy lantas terpingkal-pingkal mendengar celotehan putranya. “Okay. Sorry, Nak. Tapi kan adik sama kaya Idan, sama-sama anak Papi. Masa gak boleh disayang?”

“Humm... Boleh sih...” Muka Aidan langsung merasa bersalah. Aku yang terhimpit di tengah cuma bisa tertawa mendengar pertengkaran kecil mereka. Apalagi, dua-duanya punya cara yang sama dalam menunjukkan rasa sayang pada si adik. Sama-sama posesif, hahaha.

“Udah, Idan, Papi. Gak usah pada berantem, kalian boleh sayang sama adik. Sini Mamah peluk dua-duanya,” leraiku.

“Idan's first!!!!” Tanpa memberi celah pada Jordy, Aidan langsung menghamburkan dirinya di pelukku. “Adek, halo. Kenalin namaku Idan, Abang Idan!”

Mendengar Aidan memanggil dirinya sendiri dengan sebutan “Abang” membuatku diliputi haru. Air mataku luruh detik itu. Kupikir dia cemburu mengingat sebentar lagi kasih sayangnya akan terbagi, tapi nyatanya dia mengkhawatirkanku dan adiknya.

“Adik makan yang banyak ya, kalo enggak nanti adik kurus kayak Nono, temen Abang. Tapi jangan kebanyakan, nanti gede kayak Papi...”

Yang disinggung langsung mencubit pipi Aidan pelan. “Idaaaaan,” tegur Jordy namun setelahnya keduanya tertawa.

“Abis kan, nanti kalo adek kegedean di perut, Mamah kasian. Jadi bombombom!”

Aku memandang Aidan yang sedari tadi tak kehilangan senyum. Ia tampak begitu bahagia dengan rujuknya kami, dan alhamdulillah-nya, Jordy sudah tak semenyebalkan dan sekaku dulu. Dia sama seperti Aidan, senang bergurau, saling meledek, tapi bagusnya sepasang ayah dan anak ini tak ada yang tersinggung satu sama lain. Justru keduanya malah semakin akrab karena sering bercanda.

Kalau aku menimpali, malah ditegur Aidan, katanya aku mengganggu boys time mereka. Gemas!

Fin