354

“Mamaaaaaaaa...”

Suara imut yang menyambut Anya selagi ia membuka pintu apartnya, membuat rasa hangat dengan cepat menjalari tubuh wanita itu. Tatap sendu Anya tak pelak jatuh pada kedua manik mata bulat milik putri semata wayangnya—Nora.

Tangan mungil Nora terangkat, berusaha menggapai jemari sang bunda. Kalau sudah begini, Nora pasti mau digendong.

“Anak Mama...” Dalam sepersekian detik aroma minyak telon mulai menyapa indra penciuman Anya. Begitu membuatnya ingin mendekap sang putri setiap saat, menyalurkan rasa aman pada Nora.

“Maaf Nora, Mama kemaren nggak pulang. Nora kangen sama Mama nggak?” tanya Anya sembari membiarkan Nora bermain dengan ujung rambutnya. Sambil mengucek mata, Nora mengangguk. “I miss Mama and Papa.”

Anya tersenyum, menyugar rambut sang putri. Mendengar ada kata 'Papa' yang tersebut oleh Nora, Anya menarik kembali senyumnya. Bukan berarti sosok yang barusan Nora cari-cari, berhenti menjadi sumber bahagia untuk seorang Anya.

Justru sosok itulah yang mampu membuat Anya bangkit kembali, dan berani mengecap rasa cinta. Meski baru kenal sebentar, rasanya...Anya sudah tak mau berpisah.

Shaka—pria itu, adalah lelaki yang mungkin boleh Anya katakan yang terbaik yang hidupnya. Hampir tidak pernah Anya melihat Shaka mengesampingkan Anya. Apapun yang berhubungan dengan dirinya dan sang anak, Shaka pasti akan mendahulukannya.

Isn't it amazing? Shaka dan segala pengorbanannya untuk Anya, bak anugerah yang selama ini Anya nantikan. Belum pernah Anya bertemu dengan lelaki seperti Shaka yang begitu tulus menyayangi Anya serta Nora. Bahkan, sampai membelikan hal-hal yang semestinya menjadi tanggung jawab Tara dan Anya.

Dengan semua yang Shaka lakukan untuknya Anya berpikir kembali. Sudah saatnya Anya melepas rasa takut akan kembali berumah tangga yang sempat membelenggu dirinya.

Tanpa Shaka perlu menyatakan cinta dengan rangkaian kata yang indah, Anya sungguh-sungguh merasa bahwa Shaka betul mencintai Anya dengan tulus. Bukan cuma Anya, tetapi juga Nora.

Ketika ia dan Shaka sedang dalam perjalanan pulang, keduanya sempat berdiskusi panjang tentang rencana untuk mereka ke depan.

Rencana yang tidak Anya sangka-sangka mampir kepadanya.

Menikah lagi—yang ia harapkan menjadi pernikahan terakhirnya.

Butuh beratus-ratus bulan bagi Anya untuk meyakinkan dirinya melangkah ke jenjang itu. Di sisinya saat ini, bukan hanya Shaka, tetapi juga ada Nora. Anak ini akan semakin dewasa, kian lama ia akan mengerti situasi yang terjadi pada keluarganya.

Nora akan terbiasa tidak melihat Tara bersamanya, yang akan ia lihat adalah Shaka. Dan yang Anya inginkan, Nora bukan hanya menganggap Shaka sebagai pengganti Tara, melainkan juga sosok ayah yang begitu mencintai dirinya.

Anya tahu, demi mencapai titik itu akan sulit. Nora kini masih kecil, lalu bagaimana jika ketika Nora dewasa kelak, rentetan pertanyaan itu mampir kepada Anya?

Anya sedang memikirkan ini masak-masak berdua bersama Shaka.


Di mobil, beberapa menit sebelum Anya naik ke apart...

“You look startled, Nya. Or...confuse? You have something to tell?” tanya Shaka, mendaratkan elusan pada dahi Anya.

“Aku lebih ke confuse, Ka. It's not that I didn't ready for this. I'm just thinking about Nora. Saat ini Nora emang masih kecil, tapi ke depannya yang aku pengenin...pas dia udah gede nanti, dia bukan melihat kamu sebagai pengganti Tara. But also a father whom she really love and respect.”

“She will I think. But takes time,” kata Shaka, memindahkan tangannya dari perseneling ke atas tangan Anya. Seolah mengerti bila Anya sedang dirundung kalut, lelaki itu mengusap tangan perempuan itu.

“Aku tau nggak akan gampang menjelaskannya, tapi kamu juga harus ngasih waktu buat Nora untuk mengerti.”

Anya mengangguk, lalu mempererat genggamannya pada Shaka. Selalu, sentuhan hangat dari telapak tangan lelaki itu mampu menyurutkan segala rasa kalut yang memenuhi relung Anya.

“Kamu pasti kaget, tadi aku nanya mau nyari vendor wedding?”

Anya mengiyakan. “Aku tau maksud kamu nggak langsung kita nikah besok or gimana, tapi kadang di sisi lain aku takut ngerasa egois untuk Nora.”

Mendengar penuturan dari Anya, Shaka memilih bungkam. Paham betul dengan keputusan yang mereka buat akan berimbas pada Nora dan juga tumbuh kembangnya kelak, sebagai calon orang tua bagi gadis kecil itu, Shaka tidak menganggap sepele kerisauan Anya ini.

Justru jauh setelah Shaka tau jika anak perempuan itu adalah anak Anya, ia banyak merencanakan hal-hal yang berkaitan tentang Nora dan perkembangannya. Memang, Shaka akui tidak mudah untuk menjadi orang tua sambung, apalagi dia sendiri belum pernah punya anak. Akan ada banyak pertanyaan yang mungkin Nora pertanyakan kepada Anya dan dirinya; tentang Tara yang tidak lagi tinggal bersama ibunya dan justru tinggal bersama Shaka— menjadi salah satu pertanyaan besar bagi anak itu. Karena, otomatis ketika Anya dan Shaka menikah, Nora akan ikut bersama mereka.

“Kamu takut kalau Nora nanya soal Tara, ya?”

Anya kembali mengiyakan. “Dia kan suka nanya dulu, kenapa Dadda gak pernah pulang, kenapa dia cuma bisa vidcall Tara, dan Tara gak pernah mau nonton lagi bertiga sama aku..”

“I'm so sorry, Ka.. Aku bukannya mau nginget yang dulu..”

“Nggak, Nya. Aku ngerti posisi kamu. Jujur aja, aku nggak ada masalah kalau semisal Nora pengen main sama Tara, atau kamu ketemu Tara buat urusan Nora. It must be something yang udah kamu bicarain sebelumnya dengan Tara.”

”...So more or less aku juga enggak punya hak untuk melarang kamu ataupun Nora ketemu Tara. Kewajiban kalian untuk ngebesarin Nora, sama seperti aku ngebesarin Nora dan anak-anak kita nanti. Sama aja.”

Pernyataan itu sukses membuat Anya kembali hanyut dalam pribadi seorang Shaka. Kebimbangannya seakan tersapu rata lewat perlakukan pria itu, pola pikirnya yang memukau, sungguh meyakinkan Anya bahwa Shaka memang tidak pernah main-main kepadanya. Teduhnya netra El Shaka ketika bertukar pandang dengan Anya, membuat perempuan itu melengkungkan senyum tulus untuk Shaka.

“Nangis lagi nih?” Mendapati Anya yang sedang menatapnya haru, Shaka mencari celah untuk menggoda.

“Akaaaaaa,” kata Anya seraya menutupi mukanya pakai lengan, malu.

Shaka tertawa terbahak-bahak mendapati wajah Anya yang memerah. Sedangkan Anya, hampir saja lemah karena ucapan Shaka barusan. Pemilik tato kupu-kupu itu andal menerbangkan kupu-kupu pada perut Anya.

“Kan, pasti mau nangis mulu. Genre hidup kamu apa sih, Nya?” gurau Shaka masih belum puas menertawakan Anya.

“Angst, tapi dulu. Sekarang udah enggak,” sahut Anya tersenyum lebar.

“Hahahaha.”

“By the way, aku sebenarnya mau ngajak kamu ngecek lahan di Cinere dan Cipete,” ungkap Shaka.

“Tapi, kamu habis sakit, jadi baiknya kamu istirahat aja di rumah. Kapan-kapan kan masih bisa,” kata Shaka lagi.

“Lahan apa?” tanya Anya bingung.

“Hmm, ada tanah kosong yang Papa suruh liat. Katanya sih mungkin mau dibuat tempat usaha, entah FnB, entah buat cabang perusahaan lain,” terang Shaka.

“Oh, gitu..” Anya manggut-manggut.

“Aku cek sendiri dulu, nanti kalo kondisi kamu udah bener-bener pulih, baru aku ajak ya. Kasian juga kalau Nora nanti ditinggal lama-lama sama kamu,” ucap Shaka, mengeratkan genggaman tangannya.

“Iya nggak apa-apa, Aka. Thank you so much ya.. Nanti kalo udah di rumah, aku vidcall.”

“Sip, Sayang. Maaf gak naik dulu, bilangin sama Nora ya? Nanti Papa Aka-nya telepon.”

“Iya.” Usai menerima pelukan singkat dari Shaka, Anya baru merasa lega dan siap naik ke apart.

“Hati-hati Mr. Butterfly,” ujar Anya yang membuat Shaka langsung memutar badannya menghadap Anya. Ingin mendengar julukan baru yang Anya hadiahkan kepadanya.

“Hahaha, jangan bikin kangen gini dong Mamanya Nora.”

“Hahaha, abisan kamu gitu sih. Bikin aku bingung mau bales apaaa! Rese banget, tau.” Anya mengacak-acak rambut Shaka.

“Ck, jangan gini, Nya. Mau ketemu vendor Papa loh ini.” Shaka merapihkan rambutnya kembali.

“Cewek yaaa? Sampe harus rapih-rapih gitu?” tanya Anya.

“Jealousan banget nih Bu Anya sekarang,” kekeh Shaka. “Ya udah ya, Yang. Aku jalan dulu.” Secepat kilat Shaka memberikan kecupan di dahi Anya.