9
Yang Mentari kira bahwa saya adalah laki-laki egois, tidak sepenuhnya benar. Hari dimana putri kami dinyatakan kuning oleh dokter, saya memang harus ke Bandung mendadak.
Sebab salah satu investor terbesar kami datang berkunjung, dan sebagai CEO, saya harus bertatap muka dengannya.
Saya juga coba menghubungi Mentari setelah kerja, tapi dia tak mengangkat tepat seusai saya melihat puluhan missed call berjatuhan di ponsel.
“Gimana, Pak?” tanya Devon dari bangku kemudi. “Saya telpon Erna juga sama e, Pak. Nggak diangkat sama sekali.”
Usaha saya tak main-main saat itu. Saya menelepon Idan dan Mama, tapi Mama sedang berada di luar kota dan tak tahu menahu soal keberadaan Riri.
Jangan kira saya tidak frustasi. Saya bahkan berencana pulang, namun Jenan dan Teza menahan lantaran investor kami masih ada.
Jadi bisa bayangkan betapa terhimpitnya saya malam itu. Dan perlu saya akui... saya salah terhadap Riri karena terlalu sibuk sampai lupa bahwa ia perlu pendampingan di masa nifasnya.
Pernah suatu malam saya melihatnya menyusui Kiori sambil mengusap mata. Saya pikir dia mengantuk, namun ketika saya cek melalui CCTV kamar anak kami, isakan kecilnya terdengar.
“Mamah gak kuat Kio kalau sendiri, Mamah butuh Papi... Kio jangan digigit, ini udah lecet semua... Nanti gimana besok kamu nyusu, Nak...”
Demi apapun tespek yang dia berikan pada saya kemarin siang betul-betul menjadi tamparan keras untuk saya.
Saya tidak seharusnya gegabah, seharusnya saya lebih bisa berpikir lebih matang. Melihatnya terus berjuang menyusui Kiori di tengah malam sambil merintih, membuat saya merasa payah.
Lagi-lagi saya yang tak pernah becus menjadi suami, serta kembali meretakkan rumah tangga kami.