A Good Guy?

“Gue kaget, berminggu-minggu gak ketemu lo, kok bisa berkembang secepet ini.”

Jujur aku tidak berekspektasi Jenan akan memberikan komentar ambigu semacam ini. Antara dia menghina atau memuji, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tapi yang jelas, sekarang aku tengah dirundung getir, karena Jordy sempat meneleponku beberapa kali. Sementara Prince Disney di sebelahku ini asyik mengajakku ngobrol.

“Udah lama banget gue gak makan di sini tuh,” curhatnya sembari menyapu sisa nasi di piring yang dipenuhi kuah gulai. Aku mengakui sih, Jenan si tampan dan sepiring nasi padang yang nikmat adalah Berkah Allah yang tak bisa kudustakan. Lagipula di zaman edan seperti ini, jarang sekali ada laki-laki sesempurna Jenan rela mengantre demi sepiring makanan murah.

Kalau boleh kusimpulkan, sebenarnya ada dua kemungkinan. Pertama Jenan memang orang yang down to earth dan mau merakyat, atau dia memang sedang melarat, sampai-sampai mau turun ke resto rakyat jelata seperti ini.

“Seenak itu, Je?” ucapku memerhatikannya menyuap satu kepalan tangan nasi padang ke mulut. Setelah memastikan nasi itu masuk dengan sempurna, Jenan baru menyahut. “Enak banget, Ri. Haha. Ini restoran dari jaman gue bujang sampe nikah tiga kali,” jelasnya santai.

Sebentar. Astaga! Aku hampir lupa kalau laki-laki ini pernah menikah sebelumnya. Tubuhnya yang bidang sempurna serta mukanya yang kinclong paripurna, sungguh menyilapkan pandangan. Siapapun juga tak ada yang mengira jika ia adalah seorang duda. Aku tersenyum mendengar ucapannya sekaligus kagum karena Jenan ternyata lelaki cuek yang tak peduli dengan kata dunia.

“Hahaha. Sejujurnya aku baru pertama sih makan naspad yang rasanya gini,” aku mencecap satu ayam gulai yang tadi hampir kutelan. “Hmm, enak. Rempahnya berasa banget—”

“Ri, ini...tangan lo kenapa? Kok diperbannya sampe setebel itu?”

Duh Jenan, bisa nggak ya dia berhenti memompa jantungku? Sekali jemarinya menyentuh pergelanganku, aku tahu ada sesuatu yang menjalar dalam diri ini. Mana wajahnya sungguh berkerut dalam, begitu cemas melihatku terluka.

“Ah, ini?” Aku sok kuat agar tak dibilang cengeng. “Kegores peleg motor,” dustaku.

Dia tertawa lepas, “Gimana ceritanya sih, Ri? Hati-hati dong, lain kali.” Satu tangannya terayun, menyentuh pucuk poniku yang tersibak. Aku diam, menatapnya dalam. Sebenarnya ini acara makan siang atau...acara menantang adrenalinku sih?

”...” Aku masih tak melepas tatapanku dari Jenan yang juga turut memandangku. Kedua mata bulan sabitnya menyipit.

“Lo lucu banget tau, Ri,”

katanya dengan seulas senyum. Kedua pipinya menciptakan sedikit celung, membuatku ingin membalas perbuatannya barusan. Tapi...masih kotor karena aku makan pakai tangan.

Aku kembali diam dan hanya tersenyum, sebab kini jantungku tengah bekerja keras agar tidak berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Kalau pipiku memanas itu artinya, Jenan berhasil mencuri satu poin dari kelemahanku. Sebenarnya, bukan cuma aku. Tapi aku yakin semua perempuan di Indonesia juga akan merasakan hal yang sama sepertiku jika laki-lakinya modelan Jenan begini.

Jika saja suara hatiku bisa terdengar keluar, mungkin orang-orang yang sedang makan bersama kami akan menertawaiku. Karena baru saja seorang Jenan Syailendra telah menghancurkan benteng tertinggi seorang Mentari yang lelah dan ingin melabuhkan hati pada laki-laki.

Apa...Jenan orangnya?