Aidan 2.0

Dentuman bass yang melantun dari ruang tamu di depan sontak membuyarkan konsentrasi Jordy di ruang kerja. Tumpukan proposal serta banyaknya ide-ide cerita yang akan diproduksi oleh Rumah Terra terpaksa ia singkirkan, karena pikirannya jauh lebih fokus pada Mentari yang sejak semalam enggan berbicara dengannya. Lelaki itu menarik nafas gusar, meletakkan bolpoin secara sembarangan, dan tak lupa rokok di tanganpun ia sampirkan ke asbak. Kakinya melangkah cepat meninggalkan ruangan. Dengan wajah tegas, lelaki itu menghampiri Mentari yang sedang berolahraga di treadmill miliknya.

Tubuh jenjang Jordy serta tangan kokohnya sigap menarik tubuh Mentari dari belakang, tangannya menggapai tombol off untuk menghentikan segala tindak tanduk istrinya yang masih saja merengut.

“Ke dokter sekarang.” Pandangan datar Jordy yang terarah tepat di manik mata Mentari rupanya belum menggentarkan perempuan itu. Ia masih saja asyik berolahraga kecil di atas treadmill hingga membuat Jordy terpaksa menahan amarah yang membuncah.

“Aku olahraga dulu,” kerasnya yang menuai decakan kesal dari Jordy.

“Olahraga apa sih, Ri, kamu lagi nggak enak badan gitu?” tegurnya dengan pandangan yang turun tepat ke perut sang istri.

“Aku buncit,” keluh Mentari. Jordy lantas menggeleng cepat, “nah, you're not.”

“Gak usah bilang enggak, enggak. Kamu tuh yang jujur kalo emang aku gendutan bilang!”

Jordy kembali menarik nafas frustasi ketika Mentari tetap teguh dengan pikirannya. “Nggak, Ri. Kamu gak gendut, udah ayo siap-siap, aku mau kita ke dokter sekarang.” Lelaki itu kemudian menurunkan Mentari dari treadmill-nya.

“Mas, ini beneran? Kenapa enggak pake testpack dulu...”

Memasuki ruang tunggu rumah sakit, Mentari tampak gugup kala mendapati sekelilingnya adalah barisan ibu hamil yang hendak memeriksakan kandungan. Sebagian besar dari mereka kebanyakan ditemani oleh suami, layaknya Mentari saat ini.

“Kalo tespack bisa akurat, bisa enggak. Selagi bisa ke dokter langsung, ngapain pake testpack,” jawab Jordy acuh kemudian kembali pada ponselnya.

“Kalo aku cuma telat mens doang gimana? Kamu sedih nggak?” sahut Mentari putus asa, sambil melirik kanan dan kirinya. “Yang, pulang aja yuk... Aku takut deh.”

“Enggak,” tegas Jordy.

“Yang, ih! Aku takut...” Mentari memelankan suaranya. Jordy membalikkan posisinya menghadap Mentari, “Percaya deh. Kalopun emang kenyataannya kamu cuma telat mens doang, ya gak apa-apa. Malah lebih bagus lagi, kita bisa tau kenapa kamu telat. Penyebabnya kan banyak.”

Mentari sontak terdiam dan memandang suaminya penuh haru. Karena salah satu hal yang membuat Mentari enggan memeriksakan diri ke dokter kandungan adalah takut mengecewakan suaminya. Sebenarnya ia memang sudah merasa yakin bahwa sedang berbadan dua, namun berkali-kali Mentari menepis keyakinan itu. Ia terlalu takut jika apa yang ia yakini itu justru berbalik memberi kekecewaan pada Jordy juga Aidan yang tidak lelah bertanya pada Mentari, Mamah adik udah ada belum di perut Mamah?

“Kenapa?” tanya Jordy lembut. “Takut, Yang...” tangisnya pun pecah seketika, dan membuatnya menjadi pusat perhatian banyak ibu-ibu. Mendapati istrinya yang menangis pelan, Jordy sigap menenangkan. “Gak papa kalo misalnya belum, jangan takut dulu, Ri.”

Tangis Mentaripun berangsur pudar. Ia mulai merasa tenang walau hanya sedikit, karena setelah ini giliran namanya yang akan dipanggil.

“Ibu Mentari!” panggil seorang perawat yang telah muncul di depan pintu. Begitu namanya dipanggil, Mentari langsung beranjak bersama Jordy. Air mukanya cemas dan tatap getirnya sungguh tak terlepas dari paras ayu itu.

“Siang, Dok.”

Jordy menjadi orang pertama yang membuka obrolan. Ia tahu betul jika Mentari tak punya nyali untuk bicara jika ia segugup itu. Dari tadi Mentari menggenggam erat jarinya karena terlalu tegang.

“Siang, Pak,” sahut sang dokter dengan senyum ramah. Tatapannya yang semula terarah pada Jordy kini beralih pada Mentari. “Sudah telat berapa lama, Bu?”

“Empat hari, Dok,” jawab Mentari takut-takut.

“Yang dirasain apa aja?” tanya dokter itu berikutnya. Mentari sempat diam sejenak, membongkar kembali ingatannya beberapa hari lalu. “Saya mual-mual, Dok. Terus muntah, pusing. Tapi saya kadang emang sering terlambat datang bulan kalau terlalu capek,” kata Mentari menerangkan. Dokter paruh baya itu mengangguk paham.

“Sering mainnya?” tanya dokter itu lagi, Mentari melongo bingung. “Main apa ya, Dok?”

Jordy menghela nafas, sementara dokter di depan Mentari pun sigap mengganti pertanyaan agar lebih jelas, “hubungan suami istrinya sering?”

Mentari diam dengan mukanya yang memerah bagai kepiting rebus. “Oh kalau yang itu...”

“Sering, Dok,” jawab Jordy cepat.

“Berapa kali dalam seminggu?” tanyanya kemudian.

“Tiga kali,” jawab Jordy cepat. Dokter itu menganggukkan kepala seakan paham dengan kondisi Mentari.

“Apa karena sering berhubungan suami istri ya, Dok sampe saya kecapekan dan telat dapetnya?” tanya Mentari polos. Dokter yang tadinya sudah berusaha untuk menahan tawa akhirnya menyerah. Tawanya mengudara, sementara Jordy di sebelah Mentari langsung menundukkan kepala karena tak kuasa menahan malu.

“Kita USG aja ya, Bu,” ujar sang dokter. “Silakan, Bu, pindah ke ruang pemeriksaan, nanti dibantu sama perawat saya, ya.”

Mentari kontan melirik suaminya dengan pandangan ragu. Semakin erat genggamannnya pada tangan Jordy, semakin besar pula ketakutannya. Ini bukan perkara dia positif atau tidak, ia hanya tak mau menelan kecewa sebab setelah menggali informasi di internet, banyak yang menyebutkan untuk tidak terlalu berharap pada kehamilan pertama.

Beberapa orang juga membagikan pengalaman mereka selama menjalani kehamilan hingga mengalami keguguran. Semua hal itu kini menyatu dalam kepala Mentari, ia benar-benar kacau dan kalut jika seandainya keadannya tidak baik dan ia tidak dinyatakan hamil. Apalagi tadi pagi, Mentari justru treadmill karena merasa badannya lemas seharian.

Maka ketika ia telah dibaringkan di ranjang pemeriksaan, Mentari benar-benar tak berani membuka mata karena tak ingin mendengar kabar menyedihkan. Ia hanya terus menggenggam tangan Jordy yang setia berada di sebelahnya.

“Bu, bener enggak mau liat layar USG-nya?” tanya sang dokter dengan senyum lebar.

“Dok, gak papa, Dok. Saya soalnya emang sering telat dapetnya, kalo ada yang aneh-aneh sama rahim saya kasih kabarnya ke suami saya aja ya, Dok. Saya nggak berani liat,” cerocos Mentari cepat.

Jawaban panik Mentari sukses mendulang tawa lebar bagi dokter dan perawatnya. “Lho ini isinya bayi, bukan yang aneh-aneh,” kata sang dokter pelan. Mentari diam dan perlahan membuka matanya.

Ia tak langsung merespon pemberitahuan sang dokter dan malah menatap Jordy cengo. “Yang, isinya bayi, bukan boba.”

“Yang...” Mentari langsung memeluk Jordy erat dan menangis bahagia.

Dokter yang melihat itu semua hanya bisa memaklumkan, “gak apa-apa ya, Pak. Namanya juga bumil, jadi lebih sensitif.”

Jordy mengangguk sambil mengusap puncak kepala Mentari lembut. “Makanya tadi pagi aku narik kamu dari treadmill.”

“Jadi kamu udah tau?” tanya Mentari kebingungan. “Bukan udah tau, kalo kepastiannya ya cuma dokter yang bisa jawab. Cuma kan...dulu pas Aidan...”

“Iya juga ya...kenapa aku nggak kepikiran,” gumamnya. “Aku lupa kalo aku nikah sama duda, hehehehe,” katanya polos.

“Ri...” Jordy memutar bola matanya saat bibir Mentari dengan santai memgucap.

“Hahaha, Pak Jordy sama yang sekarang kayaknya banyak tertawa ya. Istrinya gak jaim, lucu,” puji sang dokter pada Mentari.

“Dulu Dokter nanganin Aidan juga ya?” tanya Mentari.

Dokter itu langsung menggeleng. “Oh, bukan saya. Ada lagi yang lain, tapi sudah pindah rumah sakit. Kebetulan saya kenal baik sama orang tua Pak Jordy. Saya dokter kandungan langganan keluarga Pak Jordy. Dulu sepupunya Pak Jordy yang tinggal di Bali, meriksanya di saya, Bu.”

Mentari lagi-lagi mengangguk lalu mengedarkan tatapan haru pada sang suami yang tiada henti tersenyum dengan raut bahagia.

“Selamat ya, Pak, Bu. Semoga sehat sampai lahiran. Usia kandungannya masih sangat muda, jadi dijaga baik-baik ya.”

“Makasih, Dok.”

“Jangan treadmill lagi ya, Bu. Boleh kalau jalan, tapi jangan lari, nanti malah kenapa-napa.”

“Berapa lama, Dok kalau misalnya mau treadmill?”

“Lima sampai sepuluh menit, oke kok. Tapi jangan lebih ya,” peringat sang dokter.

“Baik, Dokter. Terima kasih ya,” sahut Mentari dengan senyum ramah.

“Jangan kecapekan, Bu. Rahim Ibu bagus kok, nggak ada apa-apa. Kalau sering telat mens karena kecapekan, biasanya karena adanya aktivitas berat. Sering angkat barang, atau ngendarain motor, ya pokoknya yang biasa laki-laki lakukan,” perjelas dokter tersebut.

Mendengarnya, Mentari sontak memberi picingan pada Jordy. Teringat jika laki-laki di sebelahnya inilah yang menyebabkannya stres tak keruan—hari pertama kenal, ia disuruh jadi PU, diminta angkat equipment syuting seperti lighting dan kamera, bolak-balik dari kantor menuju lokasi. Mentari tak menampik jika pekerjaanya yang terdahulu sempat membuat Mentari terlambat datang bulan hingga beberapa hari. Dan siapa lagi penyebabnya kalau bukan si biang kerok itu.

“Iya, Yang. Maaf,” sahut Jordy cepat sebelum ia menjadi sasaran omel Mentari sepulangnya dari rumah sakit.