Aku menemukan Jordy duduk termenung di ruang makan, menatap hampanya deretan kursi dan meja dalam tatapan nanar. Entah mungkin dia sedang mengenang kebersamaannya bersama Kirana, atau ada hal lain yang menjalari pikirannya. Ketika aku menarik kursi, Jordy baru sadar jika ada manusia lain yang hadir disana selain dirinya.

“Hey,” sapanya canggung. Aku tersenyum tipis seraya menarik kursi di depannya.

“Jadi minum susu coklatnya?” tanyaku basa-basi.

“Nope, katanya ada yang mau bikinin tadi,” singgung Jordy dengan seulas senyum kecil. Ia menggaruk pelipisnya, kemudian merapihkan posisi duduknya. Aku menghela nafas pelan, menepis segala pikiran burukku yang setiap malam menghantui. Entah karena Kirana atau aku yang miris pada diriku sendiri. Mencintai laki-laki yang sepenuh jiwanya dimiliki perempuan lain. Yang rumahnya telah tiada, yang semestanya telah berpulang pada rahmat-Nya. Lalu aku di sini, menemani pria kesepian itu. Sakit sekali. Kadang-kadang terlintas dalam hatiku untuk pergi dari Jordy, namun setiap Aidan merengek padaku untuk menemaninya belajar, anak itu selalu berhasil menggagalkan keinginanku.

“Sebenernya saya ngga bener-bener minta kamu bikinin susu coklat,” cetusnya saat aku telah beranjak ke dapur. Langkahku seketika terhenti, juga dengan segala sibuk tanganku yang meletakkan beberapa sendok bubuk coklat dalam mug kesayangan Jordy yang memiliki foto bertiga dengan Kirana dan Aidan.

“Terus, mau ngapain?” tanyaku menggeser mug menyakitkan itu.

“Mau ngobrol soal Jenan.” Please, aku sedang sangat hancur saat ini. Dengan Jordy yang nggak berhenti membahas Jenan terus-menerus, bukankah dia menuduhku telah berselingkuh dengan Jenan?

Aku langsung menyusul Jordy, bergabung dengannya di ruang makan kembali. Tapi tenang, kali ini aku sedang tidak dalam mode mengajaknya bergelut lewat mulut. Aku hanya ingin mendengar apa yang ingin ia katakan tentang Jenan. Atau lebih eksplisitnya lagi, aku ingin tahu apa Jordy cemburu.

“Saya udah ngobrol sama Jenan tadi di kantor,” katanya seraya menggulung lengan baju hitamnya.

“Dia bilang...apa?” tanyaku penasaran.

“Dia bilang dia naksir sama kamu. Saya udah tau itu,” ujarnya masih dengan nada tenang. Kecewa dalam hatiku langsung merambat. Ekspektasiku ternyata terlalu tinggi. Lihat bagaimana ia tertawa setelahnya. Ia benar-benar santai menanggapi perasaan temannya padaku.

“Lucu ya?” tanyaku. Dia berhenti ketawa dan mengangguk. Serius? Perasaanku setelah lima bulan menikah dengan Jordy hanya dianggap wahana dufan olehnya? Sungguh mengenaskan.

“Lucu,” katanya santai, tapi tunggu. Kenapa mendadak air mukanya terpasang dingin?

“Lucu karena bisa-bisanya dia megang tangan kamu di depan saya.”

Maksudnya?

“Saya tau, bukan dari Teza atau bahkan dari kamu. Sebelum itu saya udah tau karena muka kamu kemaren ketakutan,” jelasnya. “Dan itu yang bikin saya marah sama Jenan.”

Dia jealous?

“Kamu..tau?” tanyaku heran sekaligus panik. Jordy lantas merapatkan duduknya ke sebelahku.

“Naluri suami itu mah,” ucap Jordy sembari menggenggam tanganku. Aku tak berkutik saat hangatnya telapak tangan Jordy menyusup pelan ke dalam aliran darahku. Rasanya saat itu, aku ingin waktu berhenti di sini saja. Sebab ia membuatku merasa diinginkan. Iya, hanya dengan sesederhana itu. Digenggam tangannya oleh laki-laki yang sangat kucintai.

Akibat perbuatan manisnya, aku yang tadinya mau marah, malah menjebloskan diri pada lubang tercuram paling mematikan. Padahal aku tahu jelas jika ucapannya barusan hanya untuk menenangkan amarahku.

Perihal dia yang tak menampik ucapan rekan artisnya tempo lalu, sejujurnya masih begitu membekas dalam hati. Benar yang Chanting katakan, sampai kapanpun aku akan selalu di urutan terakhir dalam hidup Jordy.

“Mentari,” panggil Jordy padaku.

“Ya?”

“Jenan keren ya?” “Keren?”

Jordy melepas tawa, “iya, keren. Keren banget bisa bikin saya pusing kaya gini.”

“Lho? Sakit? Kenapa nggak bilang?” Aku langsung beranjak, berpindah ke sebelah Jordy.

“Bukan pusing migrain, Mentari.” “Terus?”

“Pusing, gimana caranya bisa kayak dia. Ngalahin dia.”

“Nggak ngerti aku, Mas. Kalian cekcok ya gara-gara pemain atau pas PPM?” Ia menggeleng, dan hanya tersenyum kecil lalu mengalihkan pembicaraan, “tidur di kamar bareng saya?”

“Nggak ah,” aku menolak mentah-mentah.

“Ck, mau ngapain sih emang? Betah banget tidur sendiri,” rutuknya sebal.

“Lebih tenang aja rasanya.”

“Maksud kamu, saya ngoroknya kenceng dan tidurnya berantakan?” Jordy nyaris melotot saat aku mengutarakan alasanku.

“Gimana aku tau, orang seranjang aja enggak pernah.”

“Ya udah ayo, tidur seranjang,” ajaknya enteng.

“HAH?”

“Emang salah? Kita udah suami istri, nggak akan ada yang ngira zina.”

“Ck! Orang lagi serius!”

“Ya saya juga serius, pegel juga punggungnya tidur di sofa tiap hari.”

“Tuh kan! Aku bilang juga apa, udahlah kamu tidur di ranjang aja, aku tidur di kamar Idan aja.”

“Nggak mau, Mentari. Let's sleep together.” Jordy menguap, “ayo, Mentari, udah jam setengah dua. Besok saya kerja.” Ia menarik lenganku pelan. Tunggu, cara Jordy barusan mengingatkanku pada Aidan. Gayanya sama persis. Aidan juga sering begini padaku kalau manjanya kambuh.

“Ck, ayo. Ngapain lagi malah bengong?” protes Jordy tak sabar.

“Susu coklatnya gak mau diminum?” tanyaku, melihat Jordy meninggalkan mug itu di meja.

“Iya, ketinggalan. Nanti saya tuang di gelas yang satunya lagi,” ia berbalik kemudian mengambil mug itu dari atas meja.

“Kan sama aja... ngapain sih ngotor-ngotorin gelas?” balasku gantian ngomel. Alih-alih membalas Jordy justru memfokuskan pandangannya pada foto di mug miliknya.

“Ini disimpen aja di lemari, gak usah dikeluarin atau dipake lagi. Besok suruh Erna.”

Aku terdiam. Nafasku tercekat karena ingin tahu apa alasannya. Selama aku menikah dengan Jordy, dia jarang sekali menggunakan gelas lain selain gelas itu.

“Kan masih bagus, Mas,” kataku pelan.

“Disimpen aja. Banyak gelas baru yang lebih gede. Udah ayo ah, kamu kebanyakan ngomong.”

Aku menahan senyum sambil melangkah mengikuti Jordy masuk ke kamarnya.