An Angel in The City, An Evil in the Party

Cali melayangkan pandangannya pada sebuah cermin dengan tangannya yang sibuk membubuhkan blush on serta highlighter pada wajah seorang wanita yang bisa Cali katakan....

SEMPURNA

Hidung pipih nan mungil, berbatang tinggi, kulit putih bagai porselen serta kaki jenjang bak egrang, membuat mata Cali enggan berpaling dari sosok wanita itu.

Ini adalah kali pertama untuk Cali bertemu dengan wanita yang parasnya bak Dewi Athena. Astaga Tuhan, batin Cali. Kalau saja gue boleh bertukar wajah dalam satu hari, boleh deh gue pinjem mukanya.

“Cali, sudah lama ya make-upin orang?” Mendadak canggung yang sejak tadi melingkupi Cali pun sirna ketika klien-nya itu buka suara.

“Iya, Ka Rachel,” balas Cali tersenyum.

“Oh iya, pantes aja. Make up-nya flawless banget. Natural sekali hasilnya,” puji si klien lagi seraya memeriksa hasil make up Cali.

“Makasih, Ka Rachel. Seneng dengernya kalau suka sama hasil make upku.” Cali menyahut.

“Kalau gitu, bisa gak Cali saya rekrut langsung jadi make up artist pribadi saya? Jujur, saya kadang kurang cocok di make-upin sama make up artis di tempat kerja saya.”

Cali agak terkejut mendengar tawaran itu. Tawaran yang sejak dulu sangat ia impikan. Namun sayang, penawaran ini harus hangus, karena Cali baru saja bekerja di salah satu perusahaan besar—Mahaputra Corporate.

Sayang sungguh sayang. Rejeki itu terpaksa Cali tolak.

“Maaf, Ka Rachel,” ujar Cali lesu. “Sekarang udah kerja?” tanya Rachel seolah paham. Cali mengangguk. Jelas terlihat di sorotnya jika ia sebenarnya berat menolak permintaan sang klien.

“Yah, sayang banget. Gak apa-apa, Cali. Kalau ada occasion lain, bisa kan make-upin aku?”

“Iya, Kak. Pasti bisa!” Cali menyanggupi penuh percaya diri.

“Oke, that's good! Nanti kontak lagi sama Ciripa ya, manajer aku,” ucap Rachel sebelum perempuan itu berdiri dari kursi, melirik salah seorang lelaki androgini yang membawa tas Hermes milik Rachel. Cali mengedarkan pandangannya tepat pada lelaki tersebut. Jujur, sekali melihatnya, Cali langsung teringat pada bosnya sendiri. Si makhluk berdarah dingin—Jevandra.

Naon sih aing nginget-nginget si eta, anjing! Cali mengumpat dalam hati. Membayangkan wajahnya saja kepala Cali mendidih, apalagi Senin besok, Cali masih harus bertemu face to face dengan Si Sinting itu?

Lantas gadis itu mengalihkan pikirannya dengan cara lain, yakni membuka laman chatnya dengan Mandala, laki-laki yang ia cintai. Mending seperti itu, kan? Daripada emosi karena satu lelaki yang paling ia benci?

Untunglah Cali berhasil mengendalikan emosi sesaatnya. Kini ia harus membereskan peralatan make-upnya dan menunggu di ruang yang disediakan oleh kliennya itu.

“Cali, nanti jangan pulang dulu ya? Ikut hadir di acara ini enggak apa-apa,” kata Rachel sambil tersenyum.

Astaga, apa yang telah Cali lakukan sehingga Dewi Fortuna bersedia menghampirinya hari ini? Apakah ini bentuk buah kesabarannya menghadapi bos dakjal di kantor? Kalau memang benar begitu, syukurlah. Setidaknya Cali dapat merehatkan pikiran dan perasaannya yang selalu tak keruan jika berada di dekat si tanduk setan itu.

“Makasih, Kak Rachel,” balas Cali, lalu segera ia bereskan semua alat make up miliknya, sebelum menikmati pesta orang kaya ini.

“Hai, Sayang...” Cali refleks menoleh ke belakang saat hidungnya disegarkan oleh aroma citrus bercampur oak wood yang sangat kuat. Dan pastinya, sosok yang memiliki aroma tersebut adalah seorang pria. Wanginya menenangkan dan dengan mudah tertinggal dalam kepala Cali. Tanpa harus membayangkan seperti apa rupa pemilik aroma maskulin itu, Cali yakin seratus persen jika wajahnya akan sangat tampan.

Daaan....Bingo! Tebakan Cali tidak meleset. Di belakangnya persis, Rachel memeluk mesra seorang lelaki yang wajahnya seperti Dewa Yunani, siapapun itu sosoknya. Tidak sih, lebih tepatnya lelaki ini mirip sekali dengan Edward Cullen, si vampir tampan yang pernah Cali idolakan. Astaga..betul-betul pasangan yang serasi bin sempurna. Melihat mereka saling melempar kemesraan, Cali berharap jejaknya dengan Mandala pun akan seperti sejoli ini.

“Sayang, kenalin.” Rachel menarik lengan lelaki itu dan membawanya ke depan Cali. Gilaaaa! Sekali Cali bertukar tatap dengan pria itu, rasanya Cali dibuat mabuk kepayang oleh pesonanya yang mematikan. Dingin, namun melemahkan kaum hawa.

”...Kenalin, Cali. Dia make up artist-ku hari ini.”

“Oh, Jay.” Lelaki berkulit putih seperti porselen itu menjawab singkat.

Dengar, nada bicaranya yang hemat itu membuat rasa penasaran Cali tergugah. Bagaimana bisa lelaki sesempurna ini dipertemukan dengan Rachel yang juga sempurna? Kalau dunia seadil itu, akankah Mandala bisa berakhir dengannya?

Cali hanya bisa berdoa Tuhan memberikan keadilan yang sama untuknya.

“Cali, Kak.” Ia menjawab ragu-ragu, sungkan. Belum pernah bertemu dengan lelaki yang auranya sangat mematikan seperti Jay. Eh, pernah ding.

JEVANDRA!

Dia punya aura yang mirip dengan lelaki ini. Bahkan, suara dalamnya pun nyaris sama. Caranya menatap Cali juga tak jauh dari Jevandra.

Alah siaaaa! Rutuk Cali sekali lagi. Ia kesal dengan pikirannya yang dibayangi Jevandra. Padahal di hari bebasnya hari ini, ia bisa menghirup udara bebas—yakni dengan kembali menjadi seorang freelancer.

“Saya kayaknya pernah lihat kamu. Tapi dimana, ya?” Lelaki yang ternyata adalah suami dari Rachel ini menggaruk pelipisnya dengan tampang bingung. Kalau Jay saja bingung, lantas Cali juga lebih bingung.

“Oh iya kah, Kak?” Cali ikut bertanya.

“Iya...Hmm—” Sebelum sempat lelaki itu melanjutkan ucapannya, dari belakang pintu ruangan rias Rachel terbuka lebar.

Lho, bukankah Rachel berpesan jika ruangannya hanya untuk keluarga? Cali reflek ikut menoleh ke pintu ketika Jay dan Rachel kompak melirik ke arah yang sama.

“Oy, Jev, gue kira lo gak dateng.”

Cali rasanya mau mati saja melihat sosok yang baru masuk ke ruangan itu.

Jevandra