Another Day, Another Argue

Sepertinya semakin aku mengenal Jordy, banyak hal yang membuat kepalaku seakan mau pecah. Aku tahu kebanyakan laki-laki memilih untuk merapatkan rahasianya agar tak terusik ketika mereka melakukan kesalahan. Namun Jordy, lelaki yang mengikrarkan diri akan menikahiku bersikap demikian karena aku tahu, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, mendiang mantan istrinya tetap menjadi nomor satu di hidupnya.

Dia hanya menganggapku sebagai sosok pengganti Kirana untuk anaknya, bukan istri baginya. Aku sampai kehilangan cara untuk membedakan mana tugas istri yang sebenarnya.

Karena sejak hari pertama lelaki itu memintaku menjadi ibu sambung bagi Aidan, putranya, Jordy tidak pernah mengizinkanku untuk mengenalnya lebih jauh.

Ia membangun batasan cukup tinggi agar siapapun—termasuk aku, tidak menyelaminya.

Jika ditanya seberapa besar kecewaku akan sikap Jordy yang selalu membuatku bertanya dan menangis secara bersamaan, aku akan menjawab, tidak ada rasa kecewa yang sama sekali. Aku hanya berlatih untuk memahami Jordy yang begitu mencintai almarhumah dan ingin membahagiakan Aidan di ulang tahunnya yang ke sembilan. Aku mengesampingkan egoku saat ini, sebab aku sadar, aku bukanlah siapa-siapa dalam hidup Jordy. Aku sosok asing yang tak pantas untuk bersamanya. Aku hanya seorang perempuan yang ia harapkan bisa mengendalikan Aidan. Dan, alhamdulillah-nya, Idan bisa kuurus dengan baik. Aku mulai menyayangi Aidan, seperti anakku sendiri. Sedikit-dikit jika Aidan mengalami kesulitan, aku langsung membantunya dan rasanya, aku mulai terbiasa.

Terbiasa menjadi ibu sambung Idan, dan terbiasa untuk tidak berharap lebih pada lelaki yang kucinta.

“Waaaaaah! Papi bawa banyak makanan!!!” Mata Aidan berbinar kala mendapati Jordy kembali ke rumah dengan sejumlah bungkus makanan di tangan. Erna, pengasuh Aidan, dengan cepat mengambil sebagian plastik itu dan ia letakkan di meja makan.

Aku baru saja selesai shalat dan menyiapkan perlengkapan sekolah Aidan esok hari. Kulihat anak itu banyak tersenyum, ia melonjak kegirangan sambil menghampiriku.

“Tante, Kakak Dhea, Papi bawa makanan banyak. Ayo kita makan sama-sama!” serunya sambil berteriak sepanjang lorong rumah. Dhea meninggalkan pekerjaan rumahnya, dan bergabung dengan Aidan yang sudah tak sabar menyantap KFC yang Jordy bawa. Aku tetap berada di belakang mereka tanpa sedikitpun berniat menggerakkan kursi roda.

“Ngapain kamu disitu doang?” ketus Jordy kala aku sedang melipat sebuah kemeja pink. Lelaki itu berjalan, menghampiri aku yang masih sibuk merapihkan pakaiannya.

Ia berpindah ke belakangku, mendorong kursi roda ke dekat meja makan. “Gak apa-apa, kalian makan aja. Tadi aku udah makan–”

“Boong, Pi! Tante Riri belum makan apa-apa dari pagi.” Aidan nyeletuk, dan alhasil aku canggung setengah mati. Aku mengalihkan tatapan dari Jordy dengan segera.

“Erna, tolong ambilin mangkok, dua,” perintah Jordy setelah netranya bergulir padaku. Sementara Erna menghilang ke dapur, mengambilkan permintaan tuan rumah.

“Jangan makan yang itu,” kata Jordy sesaat aku hendak mengambil satu potong ayam garing dan udang telur asin di depan. “Yang ini,” ujarnya mengambil dua buah daging sapi berisi sayuran.

“Papi, kenapa Tante Riri gak boleh makan ayam sama udang? Kata Bu Guru kan sumber protein,” bela Aidan yang kekeuh meletakkan satu udang goreng di piringku.

“Udang bisa bikin luka gatel. Nanti gak sembuh-sembuh lukanya, Tante Mentari gak bisa dateng ke ulang tahun kamu,” jelas Jordy pada Aidan. Mendengar penjelasan Jordy, aku sontak meliriknya sekilas, menyadari bahwa lelaki ini ternyata baru saja membuaiku dengan perhatian kecilnya yang tak tertebak dengan logika.

“Oh gitu, ya? Kenapa bisa bikin gatel, Pi?”

“Nanti Papi jelasin, abisin makananmu. Abis itu ke atas, tidur,” perintah Jordy seperti biasa. Aidan merengut sebal, dua pipi gembulnya menggembung. “Idan gak mau bobo kalo belum dibacain cerita sama Tante Riri!”

“Dan, bisa nggak sih kamu sehari aja gak bikin Papi marah?” Jordy mendengus, suasana makan malam seketika berubah canggung karena lagi-lagi tensi darah Jordy naik tanpa kendali.

“Gak papa, nanti aku bacain cerita. Udah, Mas. Jangan dimarahin terus Idannya, dia cuma minta dibacain cerita. Sini, sama Tante, Dan.” Aku menggerakkan kursi roda, hendak pindah ke sebelah Idan, tetapi tangan Jordy cekatan mencegat kursi roda itu hingga aku tak bisa bergerak.

“Apa sih, Mas?” Lama-lama emosiku terpancing. “Cuma bacain cerita aja. Gitu juga masih gak boleh?” sewotku.

Pertikaian kami membuat Dhea juga Erna saling berpandang heran juga miris. Kulihat Erna mendekati Dhea perlahan dan membisikkan sesuatu. Sayangnya mereka cukup jauh dari jangkauanku sehingga aku tak dapat mendengar isi pembicaraan mereka.

“Tiap hari kayak gini, Mbak? Si Kak Jordy sama Mbak Riri?” tanya Dhea.

“Gak setiap hari juga, Dhe. Tapi Pak Jordy emang orangnya gitu, suka gak mau ngalah dan gak mau dibantah. Terlalu tegas sama Den Idan. Makanya, pas ada Mbak Riri dateng ke rumah, Den Idan seneng banget. Dia jadi lebih hepi, banyak ketawa dan senyum...”

Perempuan itu mengedarkan tatapnya sekilas pada anak majikan lalu kembali pada tuannya. “Kalo Bapak, ya emang dasar orangnya saklek dan cuek jadi ya gitu-gitu aja. Tapi pas kemaren Bapak denger Mbak Riri kecelakaan, Bapak panik sampe grabak-grubuk. Ketakutan banget mukanya, ya khawatir juga. Lututnya nabrak ujung meja sampe biru...”

Perempuan itu menghela nafas sebentar, “jarang liat Bapak sampe ketakutan dan sepanik itu lagi setelah maminya Den Idan meninggal.”