“Apa kamu nggak bisa sedikit menghargai Papa dan Mama?”

Dengusan berhembus pelan dari bibir Jordy ketika dia baru saja mengangkat telepon dari mantan mertuanya.

Dengan problematika yang sama, Recha—ibu kandung Kirana—terus mengusik Jordy, bahkan saat lelaki itu perlahan ingin melepas diri dari keluarga tersebut.

“Sorry ya Dy, Mama mungkin sempat bersikap keras sama kamu beberapa waktu lalu, dan Mama juga menemukan banyak bon terselip di meja kamu. Kamu ke pusat rehabilitasi untuk orang-orang yang kena gangguan jiwa. Kalau ada apa-apa, kenapa nggak cerita sama kami?”

Jordy hening sejenak. Sebenarnya dia tidak merasa perlu menceritakan hal ini pada Recha, namun entah mengapa wanita itu tak bosan-bosan mengulik hidup Jordy saat ini.

“Itu bukan punya Ody, Ma.” “Aidan cucu Mama? Ini pasti gara-gara perempuan itu! Kamu harus jauhin dia dari Aidan!”

“Ma...” Lagi-lagi Jordy mengembuskan nafas, sembari ia memijat dahi karena mulai tertekan dengan segala tindak tanduk mantan mertuanya.

“Ya Mama nggak mungkin izinin perempuan itu ngurus Aidan kalo kondisinya begitu! Bilang, Dy. Mama akan carikan psikiater terbaik untuk Idan.”

”...Aidan nggak kenapa-napa, Ma. Tenang. Mentari memang ada kondisi khusus, jadi harus terapi ke pusat rehab—”

“Kamu ni gimana sih, Dy?” Belum sempat Jordy melanjutkan ucapannya, Recha di ujung sana memotong dengan tergesa.

”...Kamu biarin Aidan diurus perempuan sakit jiwa kayak Mentari? Itu nggak main-main lho penyakitnya, Dissociative Identity Disorder! Yang bener aja kamu Dy, kamu mau kalau Aidan kenapa-napa diurus dia?”

“Ma, Mentari udah jalanin perawatan.. sekarang keadaannya membaik,” terang Jordy penuh kesabaran.

“Nggak bisa, Ody. Mama ga rela ya, kalau cucu Mama diurus perempuan gila. Mending kamu cari pengasuh baru daripada diurus sama Mentari!”

Sayang sebelum Jordy kembali menjelaskan argumennya, Recha lebih dulu mematikan telepon. Jordy terduduk lemas di bangkunya, tampangnya berubah kalut, khawatir bila Recha buka mulut perihal ini kepada Aidan.