As The Sunflower Bloomed, The Cold Ice melted.
“Papi turun, Mah! Tuh Papi!” Telunjuk mungil Aidan tertuju pada laki-laki bertubuh tinggi dengan kaus putih bertuliskan “VETEMENTS.” Lelaki itu menjadi pusat perhatian seketika, terlalu mudah mengenali sutradara berbakat tersebut. Tubuh tinggi menjulang Jordy menjadi buah bibir di antara perempuan-perempuan yang terpesona padanya. Mentari tahu itu. Pujian-pujian kekaguman atas paras suaminya terdengar hingga ke telinga. Dibilang gerah, Mentari tentu merasakannya. Tapi sekali lagi, laki-laki yang menikahinya ini bukanlah pria sembarangan. Mantan istrinya seorang aktris yang berasal dari keluarga kaya, begitupun Jordy. Dibandingkan dirinya yang seorang rakyat jelata, tentu netizen menemukan kejanggalan atas pernikahan mereka.
“Cantik, tapi hamil duluan gak sih?” Selentingan Mentari dengar percakapan seorang pegawai hotel dengan salah satu temannya.
“Bisa jadi, kali,” sang teman menyambut obrolan si pegawai hotel dengan tawa remeh. “Lo liat gak, dia usaha banget loh deket sama anaknya Jordy. Pake susuk apa dia ya?”
“Parah lo, hahahaha,” ujar sang pegawai hotel itu lagi. Keduanya melirik Mentari sekilas lalu pura-pura berdeham saat dirinya balas menatap mereka. Mentari hanya tersenyum menanggapi cibiran itu.
“Eh, eh,” bisik sang pegawai hotel belum kapok. “Kemaren tuh di TikTok, rame banget katanya pas mereka nikah, periasnya kesurupan, njir.”
Alis teman si pegawai langsung terangkat, “Berarti susuknya jalan gak sih? Mungkin ada khodamnya kali.”
Berita tentang perias pengantin yang kesurupan itu sempat tak terdengar oleh Mentari. Ia akui sejak awal prosesi sembogo dilaksanakan, kepalanya memang sakit dan tubuhnya sedikit berat. Namun setelahnya Mentari tak ingat lagi apa yang ia lakukan. Seingat Mentari, Jordy ada di sebelahnya dan tidak melepas genggaman tangan Mentari. Mendengar pembicaraan dua pegawai hotel tersebut, Mentari melipir sejenak untuk menelepon Bulik Ratih yang sudah kembali ke Yogyakarta.
“Bulik, halo? Ini Riri, Bulik.”
“Ya...Ri?”
“Bulik... bisa ceritain nggak, apa yang terjadi di malam pernikahanku sama Mas Jordy? Semua berjalan dengan baik kan, Bulik?”
Mentari cukup tegang saat Bulik Ratih terdiam sejenak. Embusan nafas buliknya itu terasa berat, suaranya pun parau, “Nduk, usahaken kalau kemana-mana bareng Jordy ya? Jangan sendiri. Berdua sama anaknya juga kalau bisa jangan terlalu sering...”
Mentari mengernyit tak mengerti. “Emang kenapa, Bulik?”
“Ibune anak itu ndak rela nek kowe deket mbe anake. Kayaknya sih gitu. Bulik bukan maksud melarang kamu sayang sama anaknya Jordy, tapi ini demi kebaikan kamu. Apa ndak kasihan sama dirimu? Bojomu kuwi ndurung selesai ambek sing mbiyen, terus moksonen rabi karo awakmu, ngko awakmu sing loro dewe,” peringat Bulik Ratih yang saat itu juga menimbulkan sesak dalam hati Mentari. Bahkan Bulik Ratih yang notabene-nya tidak mengetahui seperti apa hubungan Jordy dan Mentari, dapat menilai jelas jika pernikahan ini tidak dilandasi cinta.
Mentari tersenyum pahit, “Insha Allah, semua baik-baik saja, Bulik. Matur nyuwun, nggih, Bulik.”
Wajahnya yang tadi sumringah kini berubah sendu dan kalut. Ia berkata demikian karena tak terlalu ingin terpengaruh oleh hal-hal diluar nalar seperti yang disampaikan Bulik Ratih. Selain itu, Mentari tahu apapun yang Bulik Ratih dan keluarganya yakini, tentu akan dimentahkan oleh suaminya.
“Dari siapa?” Suara Jordy memecah kesunyian dan racaunya pikiran Mentari.
“Udah nemenin Aidannya?” Pertanyaan itu terdengar begitu palsu di telinga Jordy.
“Dari siapa?” ulangnya penuh penekanan.
“Bulik Ratih, nanyain kabar kita gimana,” dusta Mentari dengan senyum meyakinkan.
“Handphone kamu yang satu lagi ketinggalan di kamar.” Lelaki itu menyerahkan ponsel Mentari yang satu lagi. Ponsel ini adalah ponsel yang selalu ia gunakan saat bekerja.
“Eh iya, makasih, Mas. Kamu tadi udah makan?” tanya Mentari pelan.
“Udah,” sahutnya singkat. Lelaki itu kemudian menggeser tubuhnya sebentar, “Rame notifnya,” gumamnya setelah itu.
“Oh iya, soalnya ini buat kerjaan juga kan. Jadi emang buat ngurus ekspedisi kantor—”
“Paling rame dari Jenan. Berisik, istirahat saya terganggu.”
Tepat ketika Jordy tiba-tiba menggeret nama Jenan, Mentari tampak ketakutan setengah mati. Ia akui terkadang sisi teledornya sering membawanya pada masalah, tapi yang ia tak sangka Jordy memasang wajah kecut saat menyebut nama Jenan.
“Maaf kalo gitu. Pak Jenan cuma nanya aja kok,” kata Mentari mencoba menjelaskan.
“Nanya kapan kamu masuk kantor, nanya apakah kamu bisa kerja lagi setelah kita nikah. Atau nanya kamu udah makan apa belum, dan pengen melindungi kamu as a friend?”
Rentetan pertanyaan yang Jordy sampaikan membuat Mentari ciut dalam sekejap. Ia bahkan tak tahu bahwa suaminya membaca semua yang Jenan katakan kepadanya. Dan Mentari kira Jenan hanya ingin mendoakan ia dan Jordy sebagai teman biasa, tak mungkin lebih dari itu.
“Dia nggak ngapa-ngapain kok, Mas. Malah ngedoain semoga kita langgeng,” ucap Mentari, mencoba menetralisir amarah dalam diri Jordy. Lagipula Jordy dan Jenan kan berteman sejak lama, seharusnya Jordy tak perlu semarah itu pada sahabatnya. Kalau dalam bekerja saja ia begitu memercayai Jenan sebagai wakilnya, mengapa untuk hal yang satu ini, Jordy justru menyingkirkan rasa percaya itu?
“Saya kan udah pernah bilang sama kamu untuk bilang ke dia, suruh dia cari perempuan lain aja,” dumelnya sembari menyimpan ponselnya sendiri pada saku celana. Mentari tersenyum saat mendapati wajah Jordy terlihat kesal. “Aku gak kemana-mana, Mas. Gak usah ngomel,” bujuk Mentari dengan menyapu lengan suaminya.
“Tuh tangan kenapa lagi?” Sorot mata Jordy kini turun kepada salah satu jemari Mentari yang terluka.
“Kebeset,” sahut Mentari enteng seperti tak ada beban.
“Kamu tuh teledor banget. Pantes aja Aidan kayak gitu. Jatoh dia kepleset,” beritahu Jordy santai. Berbeda dengan Mentari yang langsung khawatir dan berlari meninggalkan suaminya.
“Mentari,” tangan Jordy menahan lengan puannya.
“Kamu kok bisa-bisanya tenang ya anaknya jatuh? Bukannya ditolong, malah nahan kayak gini. Sana ah!” tepis Mentari tak kalah galak.
“Idan itu laki-laki, luka sedikit gak papa,” kata Jordy.
“Dia posisi jatuhnya gimana? Kalo kepala duluan masih berani bilang nggak papa?” ketus Mentari sebal, melepas tangan Jordy yang betah memegang tangannya, kemudian berlari ke tepi kolam mencari Aidan.
—
“Mamaaaaaaaaah!” Tangis Aidan mengguncang seluruh pengunjung hotel saat Mentari sampai di sana. Lututnya berdarah, tapi beruntung tak terjadi apa-apa pada lengan maupun kepalanya. Mentari yang sudah sampai lebih dulu dibanding Jordy segera mengambil kotak P3K untuk membubuhkan obat merah pada luka Aidan.
“Idan tadi ngapain bisa jatuh begini?” tanya Mentari khawatir. Ia segera membersihkan cucuran darah segar yang mengalir dari lutut kiri Aidan dengan kapas basah.
“Tadi Idan mau main perosotan itu,” adu Aidan terisak-isak.
“Terus? Mbak Erna ada kan?” Sorot mata Mentari kini menatap sang pengasuh putra sambungnya.
“Iya, Bu. Ada saya, tapi tadi Den Idan kepengen banget main di kolam besar, tingginya belum cukup, jadi pas naik dia kejungkal...” tutur Erna sedikit takut pada nyonya barunya. Sedangkan ayah dari anak itu cuma diam dan memandangi lutut Aidan yang berdarah.
“Dan, makanya kalo dikasih tau tuh didengerin. Jangan ngebantah. Kan Papi udah bilang sama Idan, main di kolam kecil aja.” Lima detik setelah bungkam, Jordy langsung mengomeli putranya.
“Tapi kan Idan udah gede!” sahut Aidan tak mau kalah. Kalau begini, Mentari terpaksa ada di pihak Jordy. Apa yang Jordy bilang sedikit ada benarnya, keras kepala Aidan membuat Jordy kewalahan.
Maka itu, Mentari ingin menengahi cekcok mulut yang sebentar lagi pasti terjadi diantara keduanya.
“Dan.” Mentari mendekati Aidan perlahan, diusapnya lembut kepala Aidan sejenak. “Sekarang Idan ngerti kan kenapa Papi suka ngelarang Idan?”
Sambil terisak, Aidan mengangguk. “Tapi...”
“Papi marah sama Idan itu ada maksudnya, bukan semena-mena. Buat ngasih tau Aidan mana yang boleh Idan coba, mana yang enggak. Kalau gini kan Idan sendiri yang sakit, Papi sama Mamah jadi sedih kalo Idannya sakit,” bujuk Mentari lembut. Jordy hanya bisa diam dan sedikit tertegun akan sikap lembut istrinya, teringat pesan Jenan semalam akan ketulusan Mentari pada putranya.
“Ya udah entar-entar, Idan nggak nyoba lagi, tadi Idan liat anak-anak lain nyobain, jadi Idan mau ikutan,” keluhnya pada Mentari.
“Nanti Idan pasti boleh main ke kolam gede, tapi sabar sedikit lagi ya?” kata Mentari lagi. Dan dalam hitungan detik, Idan mengangguk setuju. Jordy berdeham pelan, mengusir canggung yang seakan membangkitkan desir di benaknya. Dalam heningnya, Jordy membatin, pantes Jenan gak mau lepas.