As Warm As The Weather Outside

Sepuluh lewat dua puluh menit malam telah melewati kesepakatan Jordy dengan Aidan beberapa jam sebelum ia melanjutkan meetingnya.

“Papi, udah belom meetingnya? Idan ngantuk, Papiii. Idan mau main sama Papi, kan tadi Papi janjiiiii,” tanya Aidan setengah merengek padanya.

“Sebentar lagi, kan ada Mamah di sebelah. Idan main sama Mamah dulu, nanti Papi nyusul,” kata Jordy membujuk.

Walau tahu ucapannya hanya sebatas bualan, setidaknya dengan Mentari, segala tantrum Aidan mulai terkendali. Ia tak lagi terlalu rewel saat ayahnya berjauhan dan sibuk bekerja. Justru ia sibuk dengan bacaan-bacaan buku ceritanya. Mulai dari Humpty Dumpty hingga BenTen, Aidan terus bercerita pada Jordy tentang Mentari yang terkantuk-kantuk kala membacakan cerita untuknya.

“Mamah bobo,” suara Aidan terdengar sedih.

“Ya udah, biarin Mamah istirahat sebentar. Idan tidur sana temenin Mamahnya,” suruh Jordy namun segera dibantah oleh Aidan. Anak itu menghela nafas pelan, “Nanti Papi pesenin makanan. Kalian bertiga belum makan dari tadi pasti?”

“Idan sama Mbak Erna udah, Mamah belum.”

“Kok?” Alis Jordy terangkat.

“Kata Mamah mau nunggu Papi selesai meeting biar makan bareng. Idan kelaperan jadi Idan makan duluan. Papi sih huft!” rutuknya.

“Emang kenapa lagi, Dan...” sahut Jordy sedikit merasa bersalah.

“Mamah tadi minum promaag, asam lambung katanya, tapi Mbak Erna bujuk makan nggak mau, nungguin Papi..” Anak itu menghela nafas lagi. “Makanya, Papi, udah sih suruh Om Jenan aja yang wakilin, ayo ke kamar sebelah, Idan sama Mamah udah di kamar.”

“Entar lagi Papi nyusul. Papi beli makanan sama cari obat dulu buat Mamah.” Jordy segera menutup teleponnya dengan sang putra, lalu bergegas meninggalkan kamar hotel.

“Bu, makan sedikit nggak papa, Bu. Nggak usah nunggu Bapak, emang biasa Bapak tuh kalo meeting sampe malem—” Ucapan Erna yang terlihat sedang membujuk istri tuannya seketika terhenti saat Jordy berdiri di ambang pintu.

Lelaki itu membawa sebungkus nasi goreng yang ia semogakan dapat diterima oleh perut Mentari. Netranya lurus-lurus memandang sang istri yang tengah terkulai di ranjang, wajahnya memucat dan rambutnya sangat acak-acakan.

“Erna, istirahat aja. Ibu biar saya yang urus,” titah Jordy, melangkah masuk ke kamar. Di sana terlihat Aidan yang sudah lelap dalam tidurnya, tangan anak itu terselip pada jemari ibu sambungnya, seakan ingin menjaga sang ibu disaat ayahnya tengah sibuk bekerja.

Jordy diam, berusaha menekan segala perasaan membuncah dan haru yang berkecamuk dalam benaknya. Aidan putranya yang selama ini selalu ia kira kekanakan dan cuma tau meminta, justru jauh lebih siaga ketimbang dirinya. Jordy bagai ditegur karena tak becus menjalani tugasnya sebagai seorang suami.

“Mas, udah selesai meetingnya?” tanya Mentari sembari meremas perutnya pelan. Melihat Mentari yang terus-terusan tak memindah tangan dari sana, Jordy mendekat, memutus jarak diantara keduanya.

“Makan dulu,” ucap Jordy pelan. “Lain kali gak perlu nungguin saya selesai ker—”

Tapi nyatanya Mentari memiliki sifat yang begitu mirip dengan Aidan, yakni sama-sama keras kepala. Semakin Jordy beritahu, ada saja bantahan yang mereka lakukan. Jika Aidan lebih verbal dan mengungkapkan apa yang ia rasa, Mentari, ibu sambung putranya berkebalikan. Perempuan itu tiba-tiba mendekap Jordy erat hingga membuatnya terpaku pada aroma manis yang mengudara hingga ke penciumannya.

“Maaf ya, aku cuma pengen meluk kamu. Abis seharian ini kamu kayaknya capek banget,” senyumnya melengkung setelah itu.

“Drakor mana yang lagi kamu tonton?” Jordy melepas peluk istrinya. Alih-alih tersinggung, Mentari kembali menyugar tawa, “Apa ya? Crazy Love. Tapi baru episode awal. Ceritanya tuh menurutku bagus deh, gak klise seperti kebanyakan drakor lain, kalo di kantor kamu tuh misalnya mau bikin film atau web series gitu, ada cari referensi nggak sih? Kalo iya, coba deh tim kamu nonton drakor itu. Bagus.”

Binar hangat dan antusias yang terpancar dari mata bulan sabit Mentari perlahan-lahan membuat Jordy tak mampu melepas pandangannya dari paras ayu sang istri. Bibirnya mengulum senyum, dan meski wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, percayalah hal sebaliknya ia simpan serapih mungkin dalam hati.

“Mas, eh? Maaf-maaf, aku harusnya gak terlalu banyak ngomong ya? Udah tidur aja gih,” ucap Mentari seraya bangkit dari kasur, namun seketika langkahnya harus terhenti tatkala Jordy kembali menumpukan tangannya di salah satu lengan Mentari.

“Kenapa?” tanya Mentari bingung.

“Makanan yang saya beli mau dibuang aja?” Mentari sontak melirik bungkusan makanan yang sedari tadi berada di sebelah kanan Jordy.

“Lho, kupikir itu punya kamu. Nggak papa, kalo mau dimakan, kamu aja.”

“I bought it for my wife,” gumamnya dengan suara yang sangat pelan, hingga nyaris tak terdengar Mentari.

“Aku denger kamu ngomong apa,” tandas sang puan tiba-tiba.

“Kalo denger, nunggu kiamat dulu baru dimakan?” desis Jordy yang justru ditertawai Mentari.

“Iyaaaa, aku makan,” sahut Mentari kembali menahan tawanya yang hampir pecah karena sang suami langsung tidur setelah memastikan Mentari menghabiskan makan yang ia pesan.